Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi: Gunung Toba Masih Aktif, Bisa Meletus Lagi Kapan Saja

Kompas.com - 10/09/2021, 08:05 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Para ilmuwan telah mempelajari supervolcano purba di Indonesia dan menemukan gunung berapi tersebut tetap aktif dan berbahaya selama ribuan tahun setelah letusan super, mendorong perlunya memikirkan kembali bagaimana peristiwa yang berpotensi bencana ini diprediksi.

Gunung berapi purba yang dimaksud adalah Gunung Toba. Studi ini dipimpin oleh para peneliti dari Oregon State University.

Studi ini ditulis bersama oleh para peneliti dari Universitas Heidelberg, Badan Geologi Indonesia, Dr Jack Gillespie dari Curtin's School of Earth and Planetary Sciences dan The Institute for Geoscience Research (TIGeR) yang merupakan Lembaga penelitian ilmu bumi unggulan Curtin.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Letusan Hebat Gunung Tambora yang Mengubah Dunia

Melansir Science Daily, 3 September 2021, Professor Martin Danisik, penulis utama Australia dari John de Laeter Center yang berbasis di Curtin University, mengatakan gunung berapi super sering meletus beberapa kali dengan interval puluhan ribu tahun antara letusan besar tetapi tidak diketahui apa yang terjadi selama periode tidak aktif.

"Memperoleh pemahaman tentang periode tidak aktif yang panjang itu akan menentukan apa yang kita cari di supervolcano muda yang aktif untuk membantu kita memprediksi letusan di masa depan," kata Professor Danisik.

Letusan super adalah salah satu peristiwa paling bencana dalam sejarah bumi, gunung berapi dapat mengeluarkan magma dalam jumlah besar hampir seketika.

Baca juga: INFOGRAFIK: Mengenal Tingkatan Status Gunung Berapi

Berdampak pada iklim global

Danau Toba Menjadi Destinasi Wisata Super PrioritasDok. Shutterstock/E2DAN Danau Toba Menjadi Destinasi Wisata Super Prioritas

Letusan tersebut dapat berdampak pada iklim global hingga membuat Bumi mengalami 'musim dingin vulkanik', yang merupakan periode dingin yang tidak normal dan dapat mengakibatkan kelaparan yang meluas serta gangguan populasi.

"Mempelajari cara kerja supervolcano penting untuk memahami ancaman masa depan dari letusan super yang tak terhindarkan, yang terjadi sekitar 17.000 tahun sekali," ujarnya.

Professor Danisik mengatakan, tim telah menyelidiki nasib magma yang tertinggal setelah letusan super Toba 75.000 tahun yang lalu.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Gunung Lokon di Sulawesi Utara Meletus Hebat, 10.000 Warga Mengungsi

Mereka menggunakan mineral feldspar dan zirkon, yang berisi catatan waktu independen berdasarkan akumulasi gas argon serta helium sebagai kapsul waktu di batuan vulkanik.

Dengan menggunakan data geokronologis, inferensi statistik, dan pemodelan termal ini, pihaknya menunjukkan bahwa magma terus mengalir keluar di dalam kaldera, atau depresi dalam yang diciptakan oleh letusan magma, selama 5.000 hingga 13.000 tahun setelah letusan super.

"Kemudian karapas dari magma sisa yang dipadatkan didorong ke atas seperti cangkang kura-kura raksasa," lanjut Danisik.

Baca juga: Saat Covid-19 Telah Menginfeksi Pendaki Gunung Everest...

Temuan itu menantang pengetahuan yang ada.

Dalam mempelajari letusan biasanya melibatkan pencarian magma cair di bawah gunung berapi untuk menilai bahaya di masa depan.

Menurut Danisik, sekarang ilmuwan harus mempertimbangkan bahwa letusan dapat terjadi bahkan jika tidak ada magma cair yang ditemukan di bawah gunung berapi.

Hal ini menunjukkan bahwa konsep tentang apa yang 'meletus' perlu dievaluasi kembali.

Baca juga: Selain Raung, Berikut 5 Gunung yang Dinilai Mulai Aktif di Indonesia, Mana Saja?

Ancaman bahaya lebih lanjut

Danau Toba diambil dari The Kaldera – Toba Nomadic Escape di Desa Sibisa Pardamaian, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Jumat (18/12/2020)KOMPAS.COM/MEI LEANDHA ROSYANTI Danau Toba diambil dari The Kaldera – Toba Nomadic Escape di Desa Sibisa Pardamaian, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, Jumat (18/12/2020)

Danisik juga mengatakan bahwa letusan super dapat berdampak secara regional dan global.

Pemulihan mungkin butuh waktu beberapa dekade atau bahkan berabad-abad. Tapi hasil penelitiannya tidak berhenti sampai di situ.

"Hasil kami menunjukkan bahaya belum berakhir dengan letusan super dan ancaman bahaya lebih lanjut ada selama ribuan tahun setelahnya," imbuhnya.

Melansir Independent, 5 September 2021, sampai saat ini secara luas diperkirakan bahwa kemungkinan ledakan bergantung pada keberadaan magma cair di bawah gunung berapi.

Tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan Danisik dan para peneliti dari seluruh dunia ditemukan bukti bahwa letusan dapat terjadi bahkan jika tidak ada magma cair yang ditemukan.

Baca juga: Merapi Siaga, Apa Indikator dan Perlu Berapa Tahun bagi Gunung Api Bisa Jadi Tidak Aktif?

Letusan super Danau Toba yang terjadi sekitar 75.000 tahun lalu telah menyebabkan musim dingin global selama bertahun-tahun.

Tetapi fakta bahwa magma tampaknya terus mengalir hingga 13.000 tahun setelahnya yang menarik perhatian para ilmuwan, karena hal itu mungkin menunjukkan bahwa letusan dapat terjadi tanpa kehadiran magma cair di tempat pertama.

“Mempelajari kapan dan bagaimana magma yang dapat meletus terakumulasi, serta bagaimana keadaan magma sebelum dan sesudah letusan tersebut, sangat penting untuk memahami gunung berapi super,” kata Danisik.

Baca juga: Kenali, Berikut Tanda-tanda Suatu Gunung Api Mulai Aktif

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com