TEKNOLOGI menyebabkan disrupsi, tidak hanya di tatanan sistem, tetapi juga talenta. Revolusi Industri 4.0 menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan talenta digital yang mumpuni.
Terlebih, di era pandemi sekarang, adaptasi teknologi menjadi semakin masif. Sehingga, penting bagi digital leaders memerhatikan aspek ini agar organisasi bisa melesat lebih jauh.
Bicara soal talenta, pastinya ada skill yang dibutuhkan untuk merespons tantangan zaman. Karacay (2018) berpendapat bahwa kemampuan yang dibutuhkan di era sekarang bukan hanya yang bersifat hard-skills semata, tetapi juga kemampuan soft skills seperti komunikasi, koordinasi, dan otonomi.
Dia juga menambahkan kalau para digital leaders sekarang harus berorientasi tidak hanya menciptakan tenaga kerja digital di saat ini, tetapi mengembangkan tenaga kerja masa depan yang bisa melihat gambaran besarnya dan mampu mengidentifikasi peluang serta tantangan.
Sedikit berbeda dengan Karacay, Frankiewicz dan Chamorro-Premuzic dalam artikelnya yang bertajuk Digital Transformation is About Human, not Technology, menekankan pada aspek soft skills seperti kemampuan adaptif, memiliki sifat penasaran, dan juga fleksibel.
Asumsi mereka menurut penulis menarik karena secara implisit menyatakan bahwa setiap orang memiliki kemampuan belajar yang tinggi.
Terlepas dari perbedaan pandangan, keduanya punya perhatian yang sama bahwa untuk berjaya di era digital, butuh hard skills dan soft skills.
Namun, sayangnya, persoalan talenta digital ini begitu rumit di internal organisasi. Menurut PwC 2020, 74 persen CEO mengatakan bahwa mereka sulit menemukan talenta digital dengan kemampuan yang sesuai.
Laporan senada juga diungkapkan Willis Tower Watson pada 2020 yang menjelaskan kalau 9 dari 10 perusahaan global menghadapi situasi kelangkaan talenta.
Ini menjadi masalah serius ketika sebagian besar tidak memiliki tenaga kerja yang memiliki skill yang dibutuhkan.
Talenta menjadi penting bagi organisasi agar perusahaan bisa melesat jauh ke depan, mendahului kompetitornya.
Di sini, kita tahu pentingnya mempertahankan dan merekrut talenta yang unik, jenius, dan juga adaptif.
Tetapi, situasi soal anggaran perekrutan memicu permasalahan lain. Menurut laporan World Bank 2019, rata-rata alokasi anggaran perusahaan untuk perekrutan hanya 19,7 persen dari total pengeluaran mereka.
Itu termasuk sedikit ketika kita ingin menarik minat para talenta di seluruh dunia. Terlebih, sangat mudah bagi karyawan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.
Sehingga, opsi yang menarik minat adalah melakukan reskilling atau upskilling kepada anggotanya.
Beruntungnya, sentimen tentang reskilling di kalangan anggota sangat baik. Menurut PwC 2020, sebanyak 77 persen responden mengaku ingin melakukan peningkatan kompetensi agar kesempatan bekerja terbuka lebar.
Sentimen anggota dan kebutuhan organisasi perlu ditindaklanjuti dengan memberikan pelatihan yang diperlukan agar anggota menjadi berdaya saing tinggi dan berkemampuan mumpuni.
Di Indonesia, sudah banyak perusahaan yang telah memberi fokus pada reskilling anggotanya. Menurut laporan Mercer 2021, 74 persen perusahaan saat ini fokus pada reskilling/upskilling tenaga kerja sehingga menghasilkan bakat-bakat yang hebat dan mampu mengangkat performa perusahaan.
Tren yang terlihat sudah bagus, bahwa perusahaan juga sudah berorientasi bagaimana meningkatkan kemampuan anggotanya.
Tetapi, walaupun perusahaan telah berupaya meningkatkan kompetensi anggotanya, ada satu masalah lagi yang perlu disorot, yakni bagaimana sebuah perusahaan mempertahankan talenta agar tidak berlabuh ke kompetitornya atau perusahaan lainnya.
Engagement and Retention Report 2021 yang dikeluarkan Achievers Workforce Institute menemukan bahwa sebesar 52 persen tenaga kerja secara aktif mencari pekerjaan baru.
Kita bisa mengartikan bahwa ada masalah dan juga penyebab yang membuat karyawan ingin pindah ke tempat lain. Ini tentu masalah jika ternyata banyak talenta yang tidak nyaman berada di perusahaan tempat mereka berkarir.
Ada beberapa penyebab mengapa karyawan keluar dari perusahaan. Misalnya, Scott, McMullen & Royal (2012) mengungkapkan dua hal penting penyebab perusahaan sulit mempertahankan talentanya.