Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Teguh Akbari
Dosen

Pengamat dan praktisi kepemudaan, komunikasi, kepemimpinan & komunitas. Saat ini mengemban amanah sebagai Wakil Rektor 3 IKB LSPR, Head of LSPR Leadership Centre, Chairman Millennial Berdaya Nusantara Foundation (Rumah Millennials), Pengurus Pusat Indonesia Forum & Konsultan SSS Communications.

"Digital Leaders" dan Tata Kelola Talenta Organisasi

Kompas.com - 07/08/2021, 17:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam menyelesaikan persoalan commitment, digital leaders sebenarnya bisa menciptakan lingkungan yang kondusif yang memungkinkan talenta bisa berkreativitas dengan leluasa.

Ciptakan ruang aman bagi mereka untuk berkarya. Setiap anggota memiliki talenta yang bisa diberdayakan untuk kepentingan kemajuan organisasi. Hal itu penting terutama jika bicara soal milenial dan Gen-Z.

Menurut riset dari IBM Institute for Business Value tahun 2021, 33 persen Gen-Z dan 25 persen milenial berencana untuk mencari tempat dan karir baru.

Kedua generasi ini yang akan mendominasi pangsa pasar tenaga kerja dunia. Penting mempertimbangkan bagaimana karakter mereka dengan pola perilaku yang diberikan para digital leaders untuk membangun budaya kerja yang ideal. Suka atau tidak suka, kita sekarang berhadapan dengan kedua generasi ini.

Selain itu, persoalan lainnya yang membuat para pekerja ingin pindah ke perusahaan adalah soal gaji. Ini yang perlu digital leaders selesaikan dengan dana yang sedemikian rupa.

Menurut riset dari firma konsultan Robert Half 2021, 40 persen gen-Z berkeinginan pindah karena ingin mendapatkan gaji yang tinggi.

Ini masalah yang mungkin akan sulit diatasi oleh Digital Leaders. Setiap perusahaan memiliki anggaran tersendiri terkait gaji dan insentif.

Namun, para digital leaders dapat membuat semacam pengaturan yang membuatnya bisa mempertahankan talenta-talentanya. Ini untuk menghindari talentanya berlabuh ke perusahaan lainnya, apalagi mereka sudah diberikan pelatihan.

Namun, yang paling penting adalah bagaimana digital leaders bisa membuat tujuan perusahaan align dengan para pekerja milenial dan Gen-Z.

Ini bukan berarti mengubah visi yang telah ditetapkan oleh organisasi, tetapi lebih kepada bagaimana organisasi mampu menciptakan sebuah perasaan kepada para anggotanya bahwa apa yang mereka lakukan memiliki dampak yang besar bagi lingkungan sekitar.

Selain itu, di era sekarang, digital leaders harus menciptakan iklim organisasi yang transparan. Sekarang adalah era keterbukaan dan tuntutan transparansi menjadi konsekuensi yang harus di mitigasi.

Dalam survey dari The Org 2021 terhadap para pekerja di Amerika, salah satu budaya yang mereka hargai adalah transparansi, dengan persentase 37 persen. Kunci untuk transparansi di sini adalah bagaimana membangun komunikasi yang efektif.

Sekarang adalah era hybrid work. Anggota bisa bekerja dari rumah atau datang langsung ke kantor. Titik awalnya untuk menciptakan sebuah transparansi adalah bagaimana membangun komunikasi dua arah antara pemimpin dan pengikut tanpa ada sekat.

Salah satu cara membangun komunikasi seperti itu adalah digital leaders harus menguasai berbagai channel komunikasi agar bisa berkomunikasi secara efektif kepada anggotanya.

Transformasi SDM

Bahkan, ketika kita fokus untuk melakukan perubahan secara menyeluruh dengan mengintegrasikan teknologi, satu hal yang harus diingat adalah bahwa transformasi pun melibatkan manusia.

Teknologi hanyalah instrumen untuk mencapai sebuah efektivitas kerja. Kuncinya adalah membangun manusia, membangun sebuah ekosistem untuk menciptakan lingkungan kerja yang optimal dan memungkinkan para pekerja berkreasi dengan leluasa.

Meski para digital leaders melakukan transformasi digital besar-besaran, tetapi manusia tetap menjadi intinya.

Beckie Frankiewicz dan Tomas Chammoro-Premuzic mengatakan hal yang penting terkait ini. Mengutip dari artikel mereka di Harvard Business Review, mereka mengatakan: “It’s really quite simple: the most brilliant innovation is irrelevant if we are not skilled enough to use it, and even the most impressive human minds will become less useful if they don’t team up with tech.”

Oleh karena itu, manusialah yang harus dipersiapkan, talentanya yang harus diperjuangkan, bukan teknologinya. Siapa yang bisa mengoperasikan teknologi, membuat coding rumit jika bukan manusia? Tanpa manusia, teknologi tidak akan berfungsi dengan baik.

Perlu adanya mindset - shifting atau rearrangement bahwa yang perlu diinvestasikan adalah manusia.

Dengan kata lain, para digital leaders harus mentransformasikan manusianya, tidak hanya berfokus pada aspek teknologi saja.

Teknologi akan berkembang seiring dengan meningkatnya kemampuan manusia dalam berbagai aspek. Karena itu, peran digital leaders penting untuk menavigasikan perubahan dan pola pikir ini.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com