Sebagai media sosial TikTok bisa menjadi ruang publik yang memungkinkan masyarakatnya melakukan perubahan sosial. Bahkan, sebagian besar kelompok minoritas menggunakannya untuk menawarkan narasi alternatif dari perspektif mereka.
Sebagai ruang virtual, TikTok memiliki potensi yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan banyak hal termasuk membangun solidaritas dan aksi sosial.
Merlyna Lim dalam artikelnya yang berjudul Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia memberikan dua contoh kasus KPK (cicak versus buaya) dan Prita Mulyasari terkait pencemaran nama baik rumah sakit yang sukses mendapatkan simpati publik di Facebook dan Twitter serta berhasil membangun aktivisme sosial di dunia offline.
Dalam kasus cicak vs buaya (2009), masyarakat Indonesia memberikan dukungannya kepada wakil KPK yang disimbolkan sebagai cicak untuk melawan Kabareskrim Polri yang disimbolkan sebagai buaya.
Bukan hanya sukses meraih dukungan publik di Facebook, masyarakat juga turun ke jalan untuk membela KPK dan berhasil mendesak pemerintah untuk bertindak sesuai keinginan publik untuk memberantas pelaku korupsi sesuai dengan hukum yang berlaku. Bahkan, narasi cicak vs buaya masih berlaku hingga kini untuk menyimbolkan kasus-kasus serupa.
Selain itu, kita mungkin masih ingat dengan kasus Prita Mulyasari (2008), seorang ibu rumah tangga yang dipenjara terkait keluhannya atas pelayanan salah satu rumah sakit swasta yang beredar di dunia maya.
Sebanyak 10.000 akun memberikan dukungannya di laman Facebook, meluapkan kemarahannya di Twitter dan bahkan menggalang dana untuk membayar denda yang dibebankan ke Prita oleh penegak hukum.
Belajar dari dua kasus ini, media sosial memang memberikan ruang untuk kebebasan berbicara dan demokrasi (Sutadi, 2011), bahkan berpotensi sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial yang terbilang murah namun mampu menjangkau khalayak dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat (Nugroho, 2011).
Sebagai salah satu dampak dari reformasi, fenomena bermedia sosial juga diselebrasi oleh banyak orang sebagai salah satu alat untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan keinginan publik.
Hal serupa juga sempat viral dan terjadi di TikTok. Belum lama akun user @elsameliaa mengunggah video berdurasi 57 detik pada Kamis lalu, Dalam video tersebut terdapat seorang laki-laki paruh baya, Mang Eman, penjual agar-agar di Garut yang mengepal uang Rp 5.000 dan terlihat mondar-mandir untuk membeli nasi padang.
Raut wajah yang lelah dan senyuman pria tersebut berhasil membuat warganet terenyuh. Atas dukungan netizen, sang pemilik akun disarankan untuk membuka donasi. Alhasil hingga Sabtu (31/07/2021) sudah terkumpul Rp 108 juta untuk Mang Eman.
Terlepas dari berbagai konten negatif yang beredar di TikTok, pada dasarnya media sosial selalu memberikan ruang bagi siapa saja untuk melakukan hal-hal yang bersifat inspiratif dan positif.
Sebagai user, kita memiliki kendali penuh untuk bijak dalam menggunakan media sosial. Berbagai narasi memang bermunculan dan berkontestasi untuk mendapatkan perhatian publik demi viralitas dan kepentingan-kepentingan lainnya.
Namun, daya kritis dan perilaku kita dalam bermedia sosial adalah senjata utama kita untuk tidak terjebak dalam hal-hal yang bisa mempengaruhi dan merugikan diri kita sendiri karena teknologi tidak akan pernah bersifat netral selama kita sebagai manusia berada di balik itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.