Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Tiktok, Representasi Keseharian Masyarakat Kita hingga Aksi Sosial

Kompas.com - 01/08/2021, 17:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TIKTOK adalah salah satu platform media sosial yang saat ini cukup populer di Indonesia. Sejak awal 2021, aplikasi berbasis video pendek yang diciptakan oleh perusahaan teknologi China, ByteDance Ltd ini telah diunduh oleh sekitar 30 jutaan users di Indonesia.

Masuk sebagai kategori Highest Grossing App versi Apptopia, TikTok mengalahkan Tinder, YouTube, DisneyPlus dan lain-lain serta berhasil menjadi salah satu aplikasi paling populer dan menghibur sepanjang tahun 2020 dengan total pengguna kurang lebih 850 jutaan di seluruh dunia (Kompas, 19/04/2021).

Indonesia saat ini menjadi negara kedua dengan pengguna TikTok terbanyak setelah Amerika Serikat. Penggunanya pun tidak segmented dan berasal dari berbagai kalangan mulai dari generasi milenial hingga baby boomers.

Sebagai salah satu wujud budaya populer, TikTok memang diperuntukkan bagi khalayak banyak yang dalam konteks kapitalisme tujuannya selain untuk menghibur adalah untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Secara fitur dan karakteristik, TikTok memungkinkan penggunanya memproduksi dan mengunggah konten video berdurasi 15 detik hingga 3 menit dengan cukup mudah.

Selain itu aplikasi ini juga memiliki fitur tambahan seperti filter, musik gratis, stiker, dan lain-lain yang membuatnya semakin diminati oleh masyarakat.

Di masa pandemi Covid-19 saat ini, TikTok berhasil menjadi salah satu aplikasi yang paling menghibur di Indonesia. Sejak pemberlakuan working from home sebagaian besar masyarakat Indonesia gemar membuka aplikasi TikTok hanya sekadar untuk menonton video-video lucu, video memasak, mencari informasi, dan lain-lain.

Stigma negatif 

Pengguna TikTok sebagaian besar memang kelompok muda dengan rentang usia 18 hingga 24 tahun. Mereka memang gemar memproduksi dan menggunggah konten video yang merepresentasikan kehidupan anak muda yang terjadi saat ini.

Namun kenyataannya pengguna TikTok berasal dari berbagai kalangan, kelas sosial, gender, lintas budaya, dan lain-lain sehingga kita dapat menemukan konten yang sangat variatif.

Terdapat pra-anggapan bahwa TikTok identik dengan sesuatu yang alay (segala tindakan yang dinilai berlebihan) karena di fitur FYP (for you page) memang kerap didominasi oleh konten video masyarakat yang mengunggah hal-hal yang remeh-temeh, seperti kehidupan rumah tangga, perniagaan, hubungan percintaan anak muda, pamer kekayaan, dan lain-lain.

Oleh karena itu, batas antara yang privat dan yang publik di TikTok seolah menjadi kabur karena banyak pengguna secara sukarela dan tanpa beban mengunggah konten video yang seharusnya bersifat privat seperti hubungan percintaan, aset kepemilikan, pilihan politik, agama, hingga perihal tubuh dan orientasi seksual.

Banyak dari sekian konten video yang beredar di Tiktok menjadi viral karena mempertontonkan hal-hal yang tidak baik, seperti konten tentang ketidakpercayaan atas virus Covid-19, pemberitaan skandal pencintaan, aksi pansos yang tidak mengindahkan kebijakan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), serta konten-konten tidak mendidik lainnya yang sengaja diproduksi demi viralitas dan popularitas semata.

Kehadiran aplikasi media sosial ini bahkan sempat mendapatkan respons negatif dari beberapa negara. September 2020 lalu Departemen Perdagangan Amerika Serikat sempat melarang warganya untuk mengunduh aplikasi dari ByteDance Ltd (induk dari TikTok dan WeChat) dengan alasan keamanan data personal warga Amerika dan konten.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Pada 2018 lalu TikTok sempat diblokir oleh Kominfo karena menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, KPAI, serta lapisan masyarakat TikTok dinilai mengandung banyak pelanggaran konten yang tidak mendidik seperti pornografi, asusila, pelecehan agama, dan lain-lain.

Namun, sama dengan aplikasi jejaring sosial lainnya, konten yang beredar di TikTok juga memiliki kompleksitasnya sendiri. Artinya, tidak semua identik dengan sesuatu yang bersifat negatif dan tidak mendidik. Ada juga unggahan yang inspiratif dan positif.

Solidaritas virtual menjadi aksi sosial nyata

Sebagai media sosial TikTok bisa menjadi ruang publik yang memungkinkan masyarakatnya melakukan perubahan sosial. Bahkan, sebagian besar kelompok minoritas menggunakannya untuk menawarkan narasi alternatif dari perspektif mereka.

Sebagai ruang virtual, TikTok memiliki potensi yang memungkinkan penggunanya untuk melakukan banyak hal termasuk membangun solidaritas dan aksi sosial.

Merlyna Lim dalam artikelnya yang berjudul Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia memberikan dua contoh kasus KPK (cicak versus buaya) dan Prita Mulyasari terkait pencemaran nama baik rumah sakit yang sukses mendapatkan simpati publik di Facebook dan Twitter serta berhasil membangun aktivisme sosial di dunia offline.

Dalam kasus cicak vs buaya (2009), masyarakat Indonesia memberikan dukungannya kepada wakil KPK yang disimbolkan sebagai cicak untuk melawan Kabareskrim Polri yang disimbolkan sebagai buaya.

Bukan hanya sukses meraih dukungan publik di Facebook, masyarakat juga turun ke jalan untuk membela KPK dan berhasil mendesak pemerintah untuk bertindak sesuai keinginan publik untuk memberantas pelaku korupsi sesuai dengan hukum yang berlaku. Bahkan, narasi cicak vs buaya masih berlaku hingga kini untuk menyimbolkan kasus-kasus serupa.

Selain itu, kita mungkin masih ingat dengan kasus Prita Mulyasari (2008), seorang ibu rumah tangga yang dipenjara terkait keluhannya atas pelayanan salah satu rumah sakit swasta yang beredar di dunia maya.

Sebanyak 10.000 akun memberikan dukungannya di laman Facebook, meluapkan kemarahannya di Twitter dan bahkan menggalang dana untuk membayar denda yang dibebankan ke Prita oleh penegak hukum.

Belajar dari dua kasus ini, media sosial memang memberikan ruang untuk kebebasan berbicara dan demokrasi (Sutadi, 2011), bahkan berpotensi sebagai alat untuk melakukan perubahan sosial yang terbilang murah namun mampu menjangkau khalayak dalam jumlah banyak dan waktu yang singkat (Nugroho, 2011).

Sebagai salah satu dampak dari reformasi, fenomena bermedia sosial juga diselebrasi oleh banyak orang sebagai salah satu alat untuk mengkritik kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sejalan dengan keinginan publik.

Hal serupa juga sempat viral dan terjadi di TikTok. Belum lama akun user @elsameliaa mengunggah video berdurasi 57 detik pada Kamis lalu, Dalam video tersebut terdapat seorang laki-laki paruh baya, Mang Eman, penjual agar-agar di Garut yang mengepal uang Rp 5.000 dan terlihat mondar-mandir untuk membeli nasi padang.

Raut wajah yang lelah dan senyuman pria tersebut berhasil membuat warganet terenyuh. Atas dukungan netizen, sang pemilik akun disarankan untuk membuka donasi. Alhasil hingga Sabtu (31/07/2021) sudah terkumpul Rp 108 juta untuk Mang Eman.

Terlepas dari berbagai konten negatif yang beredar di TikTok, pada dasarnya media sosial selalu memberikan ruang bagi siapa saja untuk melakukan hal-hal yang bersifat inspiratif dan positif.

Sebagai user, kita memiliki kendali penuh untuk bijak dalam menggunakan media sosial. Berbagai narasi memang bermunculan dan berkontestasi untuk mendapatkan perhatian publik demi viralitas dan kepentingan-kepentingan lainnya.

Namun, daya kritis dan perilaku kita dalam bermedia sosial adalah senjata utama kita untuk tidak terjebak dalam hal-hal yang bisa mempengaruhi dan merugikan diri kita sendiri karena teknologi tidak akan pernah bersifat netral selama kita sebagai manusia berada di balik itu.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com