KOMPAS.com - Sebentar lagi umat Islam di seluruh dunia akan merayakan Idul Adha 1442 Hijriah. Di Indonesia, hari raya tersebut jatuh pada tanggal 20 Juli 2021.
Hari Raya Idul Adha identik dengan penyembelihan hewan kurban bagi yang mampu menunaikannya. Adapun hewan yang disembelih untuk ibadah kurban yaitu sapi, kambing, domba, kerbau, maupun unta.
Oleh sebab itu, Idul Adha disebut juga dengan Hari Raya Kurban. Akan tetapi, ada sebutan lain bagi hari besar umat Islam ini, yaitu Lebaran Haji.
Lantas, mengapa Idul Adha disebut juga sebagai Hari Raya Kurban dan Lebaran Haji?
Sebagaimana diberitakan KOMPAS.com pada Senin (22/6/2020), berikut ini sejarah Idul Adha, dan alasan penyebutan Hari Raya Kurban dan Lebaran Haji.
Saat Idul Adha, Allah memerintahkan kepada umat Islam untuk melakukan ibadah kurban bagi yang mampu melaksanakannya. Perintah tersebut juga tertulis dalam Al-Qur'an:
Baca juga: Tata Cara Shalat Idul Adha di Rumah, Panduan dari MUI
“Sesungguhnya Kami telah memberikan nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah.” (QS Al-Kautsar (108):1-2).
Dikutip dari muslim.or.id melalui KOMPAS.com, penyebutan Idul Adha sebagai Hari Raya Kurban tidak lepas dari kisah Nabi Ibrahim.
Abul Anbiya, atau Bapaknya para Nabi itu melaksanakan pengorbanan atas perintah dari Allah SWT.
Sebelumnya, usai penantian panjang, Nabi Ibrahim akhirnya dikaruniai seorang anak oleh Allah SWT yang diberi nama Ismail, yang nantinya menjadi salah satu nabi bagi umat Islam.
Ketika Nabi Ismail menginjak usia remaja, Nabi Ibrahim mendapatkan Wahyu dari Allah SWT yang berisi perintah untuk menyembelih putranya sendiri, Nabi Ismail.
Baca juga: Hewan yang Boleh Dijadikan Kurban Idul Adha dan Tata Cara Menyembelihnya
Nabi Ibrahim adalah orang yang patuh, dia menaati perintah Allah SWT meski harus mengorbankan anak yang telah lama dinantikannya.
Allah SWT berfirman dalam Surah An Nahl ayat 120 yang artinya:
"Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang Imam (yang dapat dijadikan teladan), qaanitan (patuh kepada Allah), dan hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang menyekutukan Allah),"
Nabi Ibrahim pun menyampaikan wahyu tersebut kepada anaknya, Nabi Ismail, sebagaimana yang tertulis dalam Al-Qur'an surat Ash Shaffat ayat 102, yang artinya: