KOMPAS.com - Hari ini 23 tahun lalu, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998. Pak Harto mundur sebagai Presiden RI setelah menjabat selama 32 tahun.
"Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 8 UUD 1945 dan setelah dengan sungguh-sungguh memperhatikan pandangan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat dan pimpinan fraksi-fraksi yang ada di dalamnya, saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden Republik Indonesia, terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari ini, Kamis 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam pidatonya.
Pengumuman itu menjadi puncak kerusahan dan aksi protes panjang di berbagai daerah yang berlangsung dalam beberapa bulan terakhir di tahun 1998.
Para pendemo yang telah menduduki Gedung DPR dan MPR pun bersuka cita atas pengunduran diri Soeharto.
Baca juga: Profil Presiden Kedua RI: Soeharto
Sejak 18 Mei 1998, puluhan ribu mahasiswa dari banyak perguruan tinggi di wilayah Jabodetabek telah berhasil "menduduki" Gedung DPR dan MPR.
Mereka bukan saja memadati pelataran DPR, tetapi juga menaiki kubah gedung, memenuhi taman-taman, lorong-lorong maupun ruangan lobi.
Ini merupakan demonstrasi terbesar yang pernah dilakukan mahasiswa selama 30 tahun terakhir.
Di luar mahasiswa, sejumlah tokoh tampak hadir berbaur dengan kerumunan massa, seperti pakar hukum tata negara dan anggota Komnas HAM Prof Dr Sri Soemantri, tokoh "Malari" dr Hariman Siregar, dan lain-lain.
Berbagai organisasi kemasyarakatan, pemuda, keagamaan, dan mahasiswa yang berada di gedung maupun di luar gedung DPR sepakat, agar ABRI bertindak dan berpihak kepada rakyat.
Mereka mendesak agar MPR segera mengadakan sidang istimewa agar krisis ekonomi dan politik segera teratasi, dan kepercayaan masyarakat kembali pulih, seperti dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 22 Mei 1998.
Selain itu, mereka juga meminta agar tindakan represif terhadap pers, khususnya kepada televisi dan radio swasta dihentikan.
Baca juga: 23 Tahun Tragedi Trisakti: Apa yang Terjadi pada 12 Mei 1998?
Desakan mundur mulai mengemuka saat Soeharto terpilih kembali menjadi Presiden RI pada 1998 di tengah krisis ekonomi yang tak kunjung membaik selama satu tahun.
Situasi dalam negeri pun memanas. Serangkaian aksi unjuk rasa terjadi di berbagai daerah dan memakan sejumlah korban.
Dengan situasi itu, sejumlah pihak mulai mendesak Soeharto untuk mundur dari jabatannya, di antaranya berasal dari pimpinan DPR, baik ketua maupun wakilnya.
Harapan itu disampaikan oleh Ketua DPR dan MPR Harmoko ketika memberikan keterangan pers yang hanya berlangsung selama lima menit.
Saat membacakan satu halaman keterangan persnya itu, Harmoko didampingi seluruh Wakil Ketua DPR atau MPR yakni Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid.
"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, Pimpinan Dewan baik Ketua maupun Wakil-wakil Ketua mengharapkan demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko, dikutip dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Mei 1998.
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Harmoko Minta Soeharto Mundur dan Mahasiswa Duduki Parlemen
"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," sambungnya.
Usai menyampaikan keterangan persnya, Harmoko dengan ekspresi wajah tanpa senyum, bergegas meninggalkan ruangan tanpa bersedia diwawancara lagi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.