Budaya turun-temurun menormalisasi seorang perempuan hanya pasif menjalani alur kehidupan.
Kartini ingin membuktikan bahwa perempuan pun bisa menggantikan peran laki-laki.
Berkaca dari hal tersebut, Kartini begitu mengidamkan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan.
"Kartini ingin menunjukkan jika perempuan tidak hanya 'konco wingking', artinya perempuan bisa berperan lebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama di bidang pendidikan. Perempuan juga bisa menentukan pilihan hidup tak harus atas paksaan orangtua dan perempuan juga bisa sekolah setinggi-tingginya," kata Pengamat Sejarah Edy Tegoeh Joelijanto (50) yang pernah mengenyam pendidikan di UKDW Jogjakarta dan Universitas Putra Bangsa Surabaya.
Baca juga: Kisah Pengambilan Jasad 7 Pahlawan Revolusi di Sumur Lubang Buaya
Pada zaman itu perempuan tidak diperbolehkan mendapatkan pendidikan. Hanya perempuan bangsawan yang berhak memperoleh pendidikan.
Tapi Kartini beruntung.
Melansir Kompas.com 13 Desember 2019, Kartini memperoleh pendidikan di ELS (Europes Lagere School).
Baca juga: Sepak Terjang Ruhana Kuddus, Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2019
Sekolah tersebut termasuk sekolah yang bergengsi pada zaman kolonial Hindia Belanda di Indonesia.
Biasanya sekolah ini diperuntukkan bagi anak-anak keturunan Eropa, timur asing, atau pribumi dari tokoh terkemuka.
Kartini menyukai kegiatannya belajar bahasa Belanda yang menjadi bahasa komunikasi wajib bagi murid-murid ELS.
Namun, Kartini hanya bisa memperoleh pendidikan hingga berusia 12 tahun. Karena menurut tradisi Jawa, anak perempuan harus tinggal di rumah sejak usia 12 tahun hingga menikah.
Baca juga: Deretan Perayaan Unik di Hari Pahlawan