Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aung San Suu Kyi, Pemimpin De Facto yang Ditangkap Militer Myanmar

Kompas.com - 01/02/2021, 13:53 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

 

Tergerak melawan kekejaman

Awal mula Suu Kyi terlibat dalam pusaran politik Myanmar terjadi ketika dia pulang kampung pada April 1988 untuk menjenguk ibunya yang sakit keras.

Tidak lama setelah kepulangannya, diktator militer Myanmar, U Ne Win, mengundurkan diri pada 23 Juli 1988, setelah 26 tahun memerintah negara itu.

Pengunduran diri itu kemudian memicu rakyat Myanmar turun ke jalan, dan berdemonstrasi menuntut demokrasi serta pemenuhan terhadap hak-hak mereka.

Dalam rentetan demonstrasi yang berubah menjadi tragedi berdarah itu, Suu Kyi menyaksikan langsung sekitar 3.000 demonstran prodemokrasi tewas diberondong bedil tentara di sejumlah kota.

Tragedi itu menyisakan kesan kuat dalam dirinya, hingga akhirnya dia memutuskan untuk tampil ke depan rakyat, dan menyerukan bahwa demokrasi harus hadir di tanah Myanmar.

Nobel Perdamaian

Sejak memutuskan untuk bersuara, Suu Kyi konsisten pada pilihannya itu. Dia memilih tetap tinggal di Yangoon, dan tampil memberikan semangat pada rakyat Myanmar.

"Daw aye, Daw aye (Hak kami, hak kami)" teriak massa saat Suu Kyi tampil di hadapan mereka di Shwedagon Pagoda.

Waktu itu, 26 Agustus 1988. Suu Kyi segera meneriakkan pemerintah militer mundur dan demokrasi bagi Myanmar.

"Krisis saat ini adalah keprihatinan seluruh bangsa. Sebagai putri dari Aung San, saya tidak bisa berdiam diri terhadap apa yang sedang berlangsung. Krisis nasional dalam kenyataannya bisa dibilang sebagai suatu perjuangan kemerdekaan kedua," kata Suu Kyi dalam pidatonya.

Suara Suu Kyi yang meraih banyak dukungan dari masyarakat, membuat junta militer menjatuhkan hukuman tahanan rumah pertama kepadanya, 20 Juli 1989.

Ketika menjalani masa tahanan, komite Nobel memberikan penghargaan Nobel Perdamaian 1991 atas perjuangan Suu Kyi.

"Perjuangan Suu Kyi merupakan suatu contoh yang luar biasa keberanian warga sipil di Asia dalam dekade terakhir ini," ujar pihak Nobel saat memilih Suu Kyi.

"Dia menjadi simbol penting dalam perjuangan melawan penindasan," demikian pernyataan pihak Nobel.

Halaman:

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com