"Lockdown itu bukan strategi utama, lockdown itu opsi. Di dalam wabah kita boleh mengambil opsi yang mana pun. Mau lockdown apa tidak? Mau lockdown yang seperti apa? Ya silahkan, dipilih yang mana," ujar Windu.
Windu menyebut Indonesia sudah memilih langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menurunkan kasus Covid-19 di Indonesia. Akan tetapi, opsi ini disebutnya sebagai upaya yang tanggung dan terkesan main-main atau formalitas saja.
Kenyataannya, kasus Covid-19 belum melandai, sementara masyarakat mulai jenuh dengan kondisi pandemi yang tak kunjung terkendali.
"Sehingga apa, PSBB yang pernah kita lakukan tidak menurunkan kasus, bahkan kasus masih naik saat kita selesai PSBB," kata dia.
Windu menyebut India sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di Asia, kini sudah mulai mengalami penurunan kurva kasus positif. Kondisi testing di sana, saat ini sudah masif, mencapai 10 persen dari total penduduk.
"Kita itu masih puncak gunung es, itu saja di Asia (jumlah kasus) kita sudah nomor dua tingginya. Padahal yang nomor satu itu (India) testing-nya luar biasa besar. Kita testing belum sampai 2 persen saja sudah nomor dua, bayangkan kalau kita testing-nya setinggi India, 10 persen?" kata dia.
"Apakah kita sudah bisa bersyukur dengan kondisi yang sekarang ini, karena kita keputusannya dulu enggak ambil lockdown? Sekarang kita mau bersyukur, saya enggak tahu, kita syukuri enggak itu?" ujar Windu.
Baca juga: Mengenal Proses Contact Tracing Pasien Corona, Bagaimana di Indonesia?
Windu mengingatkan, dalam sebuah pandemi, kejadian luar biasa (KLB), wabah, pelacakan kasus atau tracing merupakan satu hal absolut yang harus dilakukan.
"Salah satu ajarannya kalau ada wabah penyakit menular, strategi yang tidak boleh tergantikan, harus dilakukan, absolut, adalah mencari dan menemukan kasus, case finding," sebut dia.
Menemukan kasus tentu disesuaikan dengan jenis penyakit yang tengah berkembang, Covid-19 ini harus melalui testing yaitu PCR test dan antigen test.
Persoalannya, di Indonesia, jumlah testing yang dilakukan masih sangat rendah sehingga tidak bisa mendeteksi semua kasus yang terjadi di masyarakat.
"Kita ini sekarang belum sampai 2 persen jumlah penduduk yang kita tes, kalau dibandingkan negara-negara lain, kita itu nomor ke 150 lebih dari 200 negara lebih yang alami pandemi. Bayangkan betapa jeleknya (kuantitas tes) kita," ungkap Windu.
"10.000 kasus yang terdeteksi itu, ibarat gajah itu baru ekornya, itu seperti puncak gunung es," kata dia
Oleh karena itu, jika kapasitas tes di Indonesia ditingkatkan, angka kasus terkonfirmasi dipastikan akan lebih tinggi.