Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Joseph Osdar
Kolumnis

Mantan wartawan harian Kompas. Kolumnis 

Ignasius Jonan dan Perbincangan Meditatif Doa Sang Katak

Kompas.com - 07/12/2020, 09:04 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Harapan muncul bukan dari tingkat atau level tinggi, tapi dari hal kecil dan sederhana. Sesuatu yang kecil perlahan menjadi besar dan dirasakan masyarakat luas di negeri ini. Terjadilah revolusi kultural di dunia kereta api. Jonan menjadi legenda perkeretaapian Indonesia.

Tentang menurunnya keuntungan finansial kereta api di Indonesia karena virus Corona ini pernah saya tanyakan kepada pengamat kebijakan publik Agus Pambagio pada Agustus 20020 lalu.

“Untuk menghadapi situasi saat ini, KAI perlu dipimpin sekelas Jonan,” ujar Agus saat itu.

Kemudian di bulan September direksi KAI baru mengubah logo atau simbol KAI. Saya minta komentar hal ini, Agus hanya mengatakan, “kurang kerjaan”.

Apakah ini tidak menelan biaya banyak di masa paceklik ini, Agus mengulangi lagi ucapannya, “Makanya saya katakan kurang kerjaan”.

Kembali ke perbincangan Inu dan Jonan. Inu terus menggiring Jonan masuk ke perenungan hidup maestro kereta api ini. Dibahas soal tokoh tokoh idola seperti Napoleon Bonaparte, Mahatma Gandhi, sampai ke Ibu Theresa dari Kalkuta.

Sebelumnya, kedua orang ini bicara soal perjalanan generasi. Jonan mengemukakan, orang yang lebih banyak melihat matahari atau berusia lanjut lebih banyak memiliki “kebijaksanaan” ketimbang “kaum muda” atau kaum “milenial”.

Tapi, kata Jonan, orang tua juga perlu belajar dari orang muda. Misalnya, soal laptop dan internet. Sampai di sini pembicaraan berkisar tentang penggunaan mesin ketik dan komputer (laptop).

Jonan bercerita pengalamannya membuat skripsi dengan mesin ketik. Dia harus hati-hati jangan sampai salah ketik. Kalau salah ketik, dosennya bisa menyuruhnya untuk mengulangi membuat paper yang baru.

“Kalau sekarang, mengubah salah ketik mudah dilakukan,” ujar Inu.

Soal salah ketik ini, saya malah teringat dengan debat gaya “padu” di layar televisi antara dua tokoh dari dua partai pendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Ma’ruf Amin.

Salah seoran tokoh itu adalah perempuan, pernah belajar tentang hukum di Amerika Serikat lalu menjadi pegawai Istana. Perbincangan yang gaduh.

Perempuan ini padu dengan tokoh dari salah satu fraksi di DPR. Dengan mata melotot, mulut berbusa-busa dan suara tinggi penuh emosi, kedua tokoh ini debat gaya padu tentang “salah ketik” di naskah Undang-undang Cipta Kerja.

“Seru dan memalukan,” ujar seorang pengamat politik yang yang saya hubungi paruh bulan November lalu.

Doa Sang Katak

Kemudian perbincangan Inu dan Jonan sampai ke buku. Ia merasa lebih menikmati bila baca buku kertas, bukan di laptop atau internet.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com