Pertama, terpantaunya gangguan gelombang ekuator.
"Yakni gelombang Equatoria Rossby di Jawa bagian Barat yang mampu meningkatkan proses pembentukan awan di wilayah Banten, Jawa Barat dan Jabodetabek," ucap Agie.
Kedua, adanya anomali suhu muka laut atau peningkatan suhu muka laut dibandingkan dengan normalnya.
Hal ini terjadi di perairan Selatan Banten-Jawa Barat yang memberikan suplai uap air untuk pembentukan awan-awan hujan di wilayah Jawa Bagian Barat, khususnya di Jabodetabek.
Baca juga: Viral, Video Kuda Laut Jantan Lahirkan Bayi, Benarkah Demikian?
Ketiga, terpantaunya pola pertemuan dan perlambatan kecepatan angin (konvergensi).
"Faktor ketiga terjadi di Jawa Barat yang meningkatkan proses pembentukan awan hujan khususnya di Jabodetabek," katanya lagi.
Terakhir, atmosfer yang labil di Jawa bagian Barat yang dapat mengintensifkan proses pembentukan awan hujan di wilayah Jabodetabek.
Hal-hal tersebut, kata Agie, mengakibatkan terjadi hujan dengan intensitas curah hujan dan volumnya sangat tinggi dan dalam periode singkat.
"Ini yang berkaitan sebagai pemicu banjir bandang, meskipun kita harus lihat bagaiman kondisi permukaan tanah apakah mampu menampung jumlah curah hujan tersebut atau tidak. Seperti yang terjadi di Sukabumi," jelasnya.
Baca juga: Berikut Analisis Lapan soal Banjir di Luwu Utara
Agie mengungkapkan, bahwa wilayah Indonesia belum memasuki musim penghujan, atau dengan kata lain masih di musim kemarau.
Saat ini, lanjutnya, Indonesia masih di periode monsun Australia yang merupakan waktu puncak musim kemarau.
"Benar bahwa kita (Indonesia) belum memasuki musim hujan. Karakter musim hujan yang ditandai periode monsun asia belum terlihat. Saat ini masih monsun Australia yang aktif," papar Agie.
Baca juga: Trending, Ini 10 Lokasi Wisata di Kawasan Dataran Tinggi Dieng
Sementara itu, pada akhir Maret 2020, BMKG merilis bahwa awal musim kemarau di Indonesia bervariasi, sebagian besar dimulai bulan Mei-Juni 2020.
Hasil pemantauan perkembangan musim kemarau hingga akhir Agustus 2020 menunjukkan bahwa hampir seluruh wilayah Indonesia (87 persen) sudah mengalami musim kemarau.
Samudra Pasifik diprediksi berpeluang terjadi La-Nina, sedangkan Samudra Hindia berpotensi terjadi IOD negatif.
Baca juga: Ramai soal Pesut Mahakam di Twitter, Apa Bedanya dengan Lumba-lumba?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.