KOMPAS.com - Peristiwa empat orang wisatawan terseret ombak di pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta, menjadi perhatian publik.
Dilansir Kompas.com, Jumat (4/9/2020), tiga orang wisatawan berhasil diselamatkan, sedangkan satu orang masih dalam pencarian.
Anggota SAR Satlinmas Wilayah III Bantul, M Arif Nugraha, mengatakan mereka adalah rombongan wisatawan dari Madiun, Jawa Timur.
Jumlah rombongannya ada 7 orang. Dari 7 orang itu, 3 orang bermain di tepi pantai dan 4 orang mandi di pantai.
Kepala Sub Bidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Siswanto, menduga peristiwa tersebut bisa disebabkan oleh rip current.
"(Peristiwa itu) karena rip current juga. Palung laut selatan Jawa itu jauh. Lebih dari 200 mil posisinya," ujar Siswanto saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (5/9/2020).
Baca juga: Empat Wisatawan Pantai Parangtritis Yogya Terseret Ombak, 1 Hilang
Dia menjelaskan rip current adalah arus balik yang terkonsentrasi di sebuah jalur yang memecah zona empasan gelombang hingga melewati zona gelombang pecah.
Rip current dikenal juga dengan sebutan Boleran. Arus boleran terbentuk jika gelombang datang dan mengempas garis pantai yang berbentuk cekungan.
Kemudian, pantulan gelombang yang mengenai pantai memunculkan sejumlah arus susur pantai atau aliran air yang "berjalan" menyusuri pantai.
Ada dua arus susur pantai yang kemudian bertemu dan memusat di tengah cekungan pantai.
Siswanto mengungkapkan, untuk arus susur yang saling bertemu ini kemudian bergabung dan menimbulkan arus balik menuju tengah laut yang mengumpul pada suatu jalur arus, hingga melewati zona gelombang pecah.
Dia mengatakan arus susur bergerak sangat kuat dengan kecepatan tinggi.
Siswanto menyebut pesisir selatan Jawa dan Bali serta pesisir barat Aceh, merupakan daerah dengan kejadian musibah rip current terbanyak selama periode 2019 hingga pertengahan 2020.
Kasus rip current terbanyak terjadi pada bulan Juni-Juli 2020, saat itu musim gelombang tinggi dan puncak penguatan monsun Australia.
Siswanto mengungkapkan kemunculan rip current tidak bisa diterka, oleh karena itu disebut juga pembunuh yang sunyi.
Meski begitu, ia mengatakan, pengunjung pantai bisa mengetes apakah di dekatnya ada fenomena rip current atau tidak dengan cara melemparkan benda ke air.
"Di atas air yang tenang bisa diletakkan sebuah benda yang mengapung, misalnya batok kelapa, ke atas ombak yang bergerak ke arah pantai," ungkapnya.
Lanjutnya, jika benda itu terseret sampai menuju ke lepas pantai pada jalur air yang tenang, maka bisa dipastikan terjadi rip current.
Baca juga: Rip Current, Penyebab Banyaknya Wisatawan Terseret Arus Pantai Selatan Gunungkidul
Cara lainnya adalah memperhatikan permukaan laut. Pada permukaan laut yang cenderung lebih tenang daripada sekitarnya, ada kemungkinan terjadi rip current.
"Perhatikan buih ombak yang datang, bila ada celah di antara buih-buih gelombang itu, maka kemungkinan di sekitar area itu sedang terjadi rip current atau arus pecah," kata Siswanto.
Tanda lainnya adalah warna air laut yang cenderung lebih keruh daripada sekitarnya. Hal itu disebabkan karena arus rip current yang sangat kuat.
Selain itu, ia mengatakan arus balik umumnya membawa serta material pantai, sehingga warnanya cenderung lebih keruh. Untuk mengamatinya lebih mudah dilakukan dari tempat yang tinggi.
Rip current menurutnya sering terjadi di ujung cekungan pantai. Oleh karena itu, pengunjung perlu mewaspadai permukaan pantai yang lebih cekung daripada sekitarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.