Dikutip Harian Kompas, 10 Agustus 1995, pesawat itu merupakan pesawat turboprop yang menggunakan teknologi mutakhir, antara lain fly by wire system, full glass cockpit with engine instrument and crew alerting system (EICAS).
Teknologi fly-by-wire (FBW) yang digunakan pada N250 merupakan yang pertama untuk pesawat berukuran tersebut.
FBW adalah sistem kendali yang menggunakan kabel-kabel data sebagai pengganti kabel kendali dari logam yang berat dan rumit.
Baca juga: Mengenal Penghargaan Bergengsi Edward Warner yang Diberikan kepada Habibie
Ketika Habibie menyampaikan bahwa dirinya ingin menerapkan teknologi itu, sejumlah kalangan penerbangan menilai itu hanya karena kesenangan berlebihan terhadap teknologi.
FBW dinilai rumit. Habibie ingin menjadikan N250 sebagai pesawat baling-baling dengan kecepatan jelajah tinggi 330 knot atau hampir 600 kilometer per jam.
Hal itu membuat para insinyur IPTN dihadapkan pada tantangan teknik yang besar dan belum pernah mereka alami sebelumnya.
Tapi kesuksesan uji terbang N250 menjawab keraguan tersebut. Bahkan di kemudian hari ide itu diikuti oleh pesawat sejenis lain.
Baca juga: Ramai Inspeksi Boeing 737, Mengapa Pesawat Bisa Mengalami Keretakan?
Tiga tahun setelah terbang perdana, tepatnya tahun 1998, proyek N250 dihentikan.
Irlan menjelaskan proyek N250 berhenti ketika Indonesia menandatangani kerja sama dengan IMF.
Saat itu salah satu klausul kerja sama Indonesia dengan IMF adalah menghentikan proyek pengembangan B250.
Sementara itu dilansir Harian Kompas, 10 Agustus 2015, pembuatan prototipe pesawat N250 selanjutnya kandas karena krisis moneter 1998. Untuk sampai ke produksi butuh investasi 650 juta dollar AS.
Baca juga: Resesi Ekonomi, Mengenal Apa Itu IMF, dan Perannya dalam Perekonomian Global...
Bersamaan dengan itu, IPTN mengalami kemunduran yang ditandai dengan pemutusan hubungan kerja sekitar 15.700 pekerja pada 1997.
Oleh karena itu, pesawat karya anak bangsa itu akhirnya dihanggarkan.