Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agnes Setyowati
Akademisi

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

75 Tahun Indonesia dan Kolonialisme Modern

Kompas.com - 10/08/2020, 12:53 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dampak warisan budaya kolonial

Penjajahan Belanda terhadap Indonesia yang terjadi sekian lama bukan hanya berupa fisik, pengaruhnya di berbagai aspek memberikan dampak tersendiri bagi masyarakat kita.

Legge (1961) menjelaskan bahwa dalam mempertahankan daerah jajahannya, Belanda menciptakan watak kolonial yang otoriter, sentralistik, birokratif-kompleks, diskriminatif, ekploitatif, dan paternalistik.

Hukum ketatanegaraan kolonial yang membagi masyarakat ke dalam sekat-sekat kultural berdasarkan ras dan politik adu domba untuk mempertahankan kekuasaan berdampak pada suburnya sikap diskriminatif berbasis ras di kalangan masyarakat, khususnya terhadap kelompok minoritas.

Dalam konteks sosial-budaya, kolonisasi secara fisik maupun diskursif oleh Belanda terhadap Indonesia berabad-abad lamanya secara tidak disadari juga mempengaruhi struktur mental masyarakat kita.

Harus diakui bahwa Belanda sangat mahir dalam membangun diskursus yang stigmatik dan ideologis sehingga bangsa jajahan mereka secara tidak sadar melihat posisi mereka yang tertindas secara taken for granted atau takdir, dan hal ini menciptakan mental masyarakat yang inferior, submisif, patuh dan non-kritis.

Tidak hanya itu, gaya kepemimpinan otoriter dan anti-kritik khas kolonial kemudian kerap diadopsi oleh kelompok elit lokal untuk menguasai kelompok yang dianggap lemah.

Sikap inilah yang menimbulkan ketidakdewasaan dalam demokrasi. Hal ini dikarenakan demokrasi dianggap sebagai ancaman serius oleh kelompok penguasa. Contohnya adalah penihilan terhadap legitimasi sebagai salah satu tolak ukur integral dalam memilih pemimpin yang banyak ditemukan dalam budaya politik kita akhir-akhir ini.

Menurut seorang Indonesianis, Ben Anderson, hal ini terjadi karena demokrasi dilihat sebagai musuh yang siap untuk menggoyang kekuasaan kelompok elit politik tertentu sehingga pelaksanaan demokrasi kerap mengalami ganjalan ketika berhadapan dengan kekuasaan elit politik yang sibuk mempertahankan kepentingan golongan ketimbang kepentingan bersama.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme begitu marak baik di lembaga negara maupun swasta, karena gaya kemimpinan otoriter mengandalkan kekuasaan bukan pada kemampuan bersaing secara adil.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Deretan Insiden Pesawat Boeing Sepanjang 2024, Terbaru Dialami Indonesia

Deretan Insiden Pesawat Boeing Sepanjang 2024, Terbaru Dialami Indonesia

Tren
Asal-usul Gelar 'Haji' di Indonesia, Warisan Belanda untuk Pemberontak

Asal-usul Gelar "Haji" di Indonesia, Warisan Belanda untuk Pemberontak

Tren
Sosok Hugua, Politisi PDI-P yang Usul agar 'Money Politics' Saat Pemilu Dilegalkan

Sosok Hugua, Politisi PDI-P yang Usul agar "Money Politics" Saat Pemilu Dilegalkan

Tren
Ilmuwan Temukan Eksoplanet 'Cotton Candy', Planet Bermassa Sangat Ringan seperti Permen Kapas

Ilmuwan Temukan Eksoplanet "Cotton Candy", Planet Bermassa Sangat Ringan seperti Permen Kapas

Tren
8 Rekomendasi Makanan Rendah Kalori, Cocok untuk Turunkan Berat Badan

8 Rekomendasi Makanan Rendah Kalori, Cocok untuk Turunkan Berat Badan

Tren
Kronologi dan Fakta Keponakan Bunuh Pamannya di Pamulang

Kronologi dan Fakta Keponakan Bunuh Pamannya di Pamulang

Tren
Melihat 7 Pasal dalam RUU Penyiaran yang Tuai Kritikan...

Melihat 7 Pasal dalam RUU Penyiaran yang Tuai Kritikan...

Tren
El Nino Diprediksi Berakhir Juli 2024, Apakah Akan Digantikan La Nina?

El Nino Diprediksi Berakhir Juli 2024, Apakah Akan Digantikan La Nina?

Tren
Pria di Sleman yang Videonya Viral Pukul Pelajar Ditangkap Polisi

Pria di Sleman yang Videonya Viral Pukul Pelajar Ditangkap Polisi

Tren
Soal UKT Mahal Kemendikbud Sebut Kuliah Pendidikan Tersier, Pengamat: Terjebak Komersialisasi Pendidikan

Soal UKT Mahal Kemendikbud Sebut Kuliah Pendidikan Tersier, Pengamat: Terjebak Komersialisasi Pendidikan

Tren
Detik-detik Gembong Narkoba Perancis Kabur dari Mobil Tahanan, Layaknya dalam Film

Detik-detik Gembong Narkoba Perancis Kabur dari Mobil Tahanan, Layaknya dalam Film

Tren
7 Fakta Menarik tentang Otak Kucing, Mirip seperti Otak Manusia

7 Fakta Menarik tentang Otak Kucing, Mirip seperti Otak Manusia

Tren
Cerita Muluwork Ambaw, Wanita Ethiopia yang Tak Makan-Minum 16 Tahun

Cerita Muluwork Ambaw, Wanita Ethiopia yang Tak Makan-Minum 16 Tahun

Tren
Mesin Pesawat Garuda Sempat Terbakar, Jemaah Haji Asal Makassar Sujud Syukur Setibanya di Madinah

Mesin Pesawat Garuda Sempat Terbakar, Jemaah Haji Asal Makassar Sujud Syukur Setibanya di Madinah

Tren
Ada Vitamin B12, Mengapa Tidak Ada B4, B8, B10, dan B11?

Ada Vitamin B12, Mengapa Tidak Ada B4, B8, B10, dan B11?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com