Penjajahan Belanda terhadap Indonesia yang terjadi sekian lama bukan hanya berupa fisik, pengaruhnya di berbagai aspek memberikan dampak tersendiri bagi masyarakat kita.
Legge (1961) menjelaskan bahwa dalam mempertahankan daerah jajahannya, Belanda menciptakan watak kolonial yang otoriter, sentralistik, birokratif-kompleks, diskriminatif, ekploitatif, dan paternalistik.
Hukum ketatanegaraan kolonial yang membagi masyarakat ke dalam sekat-sekat kultural berdasarkan ras dan politik adu domba untuk mempertahankan kekuasaan berdampak pada suburnya sikap diskriminatif berbasis ras di kalangan masyarakat, khususnya terhadap kelompok minoritas.
Dalam konteks sosial-budaya, kolonisasi secara fisik maupun diskursif oleh Belanda terhadap Indonesia berabad-abad lamanya secara tidak disadari juga mempengaruhi struktur mental masyarakat kita.
Harus diakui bahwa Belanda sangat mahir dalam membangun diskursus yang stigmatik dan ideologis sehingga bangsa jajahan mereka secara tidak sadar melihat posisi mereka yang tertindas secara taken for granted atau takdir, dan hal ini menciptakan mental masyarakat yang inferior, submisif, patuh dan non-kritis.
Tidak hanya itu, gaya kepemimpinan otoriter dan anti-kritik khas kolonial kemudian kerap diadopsi oleh kelompok elit lokal untuk menguasai kelompok yang dianggap lemah.
Sikap inilah yang menimbulkan ketidakdewasaan dalam demokrasi. Hal ini dikarenakan demokrasi dianggap sebagai ancaman serius oleh kelompok penguasa. Contohnya adalah penihilan terhadap legitimasi sebagai salah satu tolak ukur integral dalam memilih pemimpin yang banyak ditemukan dalam budaya politik kita akhir-akhir ini.
Menurut seorang Indonesianis, Ben Anderson, hal ini terjadi karena demokrasi dilihat sebagai musuh yang siap untuk menggoyang kekuasaan kelompok elit politik tertentu sehingga pelaksanaan demokrasi kerap mengalami ganjalan ketika berhadapan dengan kekuasaan elit politik yang sibuk mempertahankan kepentingan golongan ketimbang kepentingan bersama.
Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme begitu marak baik di lembaga negara maupun swasta, karena gaya kemimpinan otoriter mengandalkan kekuasaan bukan pada kemampuan bersaing secara adil.