Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ramai soal Klaim Obat Covid-19 Hadi Pranoto, Ini Tanggapan Peneliti Mikrobiologi UGM

Kompas.com - 02/08/2020, 16:31 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Sari Hardiyanto

Tim Redaksi

Didorong oleh keinginan untuk selamat, ditambah lagi penyebaran informasi yang sulit dikontrol, serta kian diperparah dengan beredarnya informasi yang menyesatkan, kehati-hatian mutlak dibutuhkan agar tidak dirugikan oleh informasi palsu.

"Masyarakat harus bersikap kritis. Artinya, informasi yang datang itu pertama kali harus disikapi skeptis. Tidak percaya sampai informasi itu terbukti valid," kata Saifudin.

Baca juga: Ketersediaan APD, Risiko Tenaga Medis, dan Perlindungan Covid-19...

Ia meminta masyarakat untuk tidak mudah percaya, apalagi kagum terhadap klaim temuan obat Covid-19 dan mengendurkan kewaspadaan mereka terhadap ancaman penyakit ini.

"Terutama bila informasi itu datang dari broadcast WA (WhatsApp), kemudian informasi yang tersebar melalui Facebook. Apalagi tidak mencantumkan sumber referensi apapun itu harus disikapi sebagai informasi yang tidak benar, sampai terbukti benar," kata dia.

Jika masyarakat menginginkan informasi yang benar terkait Covid-19, Saifudin menyarankan untuk mengakses laman resmi Kementerian Kesehatan.

Bisa juga dengan mengakses laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) atau Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (CDC).

"Semua ada di situ, termasuk progres perkembangan obat-obat anti Covid, atau vaksin anti Covid kan sudah ada," kata Saifudin.

Baca juga: CDC Tambahkan 6 Gejala Baru Virus Corona, Apa Saja?

Perlu publikasi ilmiah

Ia mengatakan proses penelitian untuk menemukan obat atau vaksin tidaklah mudah. Sehingga, tidak sembarang orang bisa melakukan klaim.

"Bayangkan, misalnya saya meneliti di rumah. Kemudian saya tiba-tiba mengundang wartawan, konferensi pers 'Saya menemukan obat anti Covid', itu kan tidak fair namanya, hanya sebatas klaim," kata Saifudin.

Dari pengalamannya, setiap kali menemukan klaim semacam antibodi Covid-19 ini, Saifudin selalu mengeceknya di jurnal-jurnal ilmiah. Hal ini ia lakukan untuk memastikan bahwa informasi yang ia terima sudah terpublikasi.

"Kalau misalkan belum ada publikasinya, bagaimana saya mau menanggapi? Wong saya tidak tahu metodenya bagaimana. Dia mengklaim anti Covid itu metode penelitiannya seperti apa," kata Saifudin.

"Klaim asal klaim itu banyak, yang jadi masalah adalah apakah klaimnya itu disertai dengan bukti penelitian yang memadai atau tidak? Jangan-jangan over claim?" imbuhnya.

Baca juga: 5 Hal yang Perlu Diketahui soal Klaim Biaya Pasien Covid-19 di Rumah Sakit

Hal senada juga diungkapkan oleh ahli biologi molekuler independen, Ahmad Utomo.

Menurutnya salah satu masalah mendasar di Indonesia terkait obat atau pengobatan sebuah penyakit adalah klaim.

"Obat itu highly regulated, makanya kita punya Badan POM supaya ada perlindungan kepada masyarakat yang mengonsumsinya," ujarnya sebagaimana diberitakan Kompas.com, Minggu (2/8/2020).

Ahmad pun mencoba menelaah terkait klaim Hadi yang juga telah memberikan cairan antibodi Covid-19 tersebut kepada ribuan pasien di Wisma Atlet.

"“Wisma Atlet itu didesain bukan untuk pasien gejala berat, melainkan isolasi mendiri pasien gejala ringan sampai sedang. Mengapa tidak ditulis data klinisnya seperti apa. Tidak perlu sampai randomisasi,” imbuhnya.

Baca juga: Jalan Panjang Wisma Atlet Kemayoran Sebelum Disulap Jadi RS Darurat Covid-19

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Syarat Jadi Relawan Uji Klinis Vaksin Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com