Mayat itu membujur lurus terbungkus plastik. Kakinya terlihat kurus berbanding dipan crank abs elektrik. Pemandangan kamar inap yang senyap ini direkam melalui klik fotografer Joshua L. Irwandi.
Karya Joshua, hasil hibah liputan Covid-19 dari National Geographic, kemudian dipilih oleh majalah tersebut sebagai foto pembuka. Editor menggunakan imaji itu sebagai yang utama, baru diikuti foto-foto dari beberapa negara lain sebagai satu reportase internasional.
Foto Joshua begitu kuat menusuk. Sebuah citra kematian, suatu akhir dari pergulatan pada musuh yang tidak tampak.
Sesosok jenazah yang tidak diketahui jenis kelaminnya sendirian, televisi di depannya sudah padam, dan jauh di luar jendela matahari telah temaram.
Kematian di foto itu bukan tampil dalam keramaian pemulasaraan. Bukan pula berada di antara barisan pasien lain. Melihat foto itu seolah kita adalah Si Fotografer, yang menyaksikan Si Mati terakhir kali, untuk kemudian meninggalkannya seorang diri.
Pilihan editor National Geographic terbukti jitu. Foto horor tersebut dimaknai secara universal sebagai kengerian yang dingin. Maka tak perlu waktu lama untuk kemudian tautan berita (bahkan sekadar foto tunggal) menjadi viral di Indonesia, di mana peristiwa dalam foto terjadi.
Joshua membagi karyanya di media sosial. Ia tak lupa berpesan dalam bahasa Inggris, “Mohon bagikan cerita ini dan bertindak. Pandemi ini seumur hidup. Kita harus memenangkan pertarungan.”
Polemik kemudian muncul. Selebriti penyanyi Erdian Aji Prihartanto yang tenar dengan nama Anji berpendapat lewat akun media sosialnya. Dalam unggahannya di Instagram, Anji meragukan kredibilitas di balik karya tersebut.
Ia secara eksplisit menyebut praktik influencer atau buzzer. Ia juga meragukan profesionalisme jurnalis foto karena berada di zona berbahaya penangangan Covid-19, di mana keluarga pasien pun dilarang berkunjung.
Unggahan Anji di-like oleh lebih dari 80.000 orang yang sebagian besar pengikutnya. Komentar pun bermunculan. Yang berbahaya adalah Anji menggiring opini agar abai pada bahaya pandemi ini. Tampak jelas bahwa ia menyepelekan ancaman ini serta terang-terangan menuliskan, “malas menyebut Covid”.
Sebagai respons terhadap unggahan Anji, Pewarta Foto Indonesia (PFI), organisasi resmi yang memayungi jurnalis foto, menerbitkan surat. Isinya mengecam pernyataan Anji dan menuntut permintaan maaf karena melecehkan profesi pewarta foto.
Jurnalis foto punya hak istimewa dalam bekerja. Satu di antaranya adalah menjangkau tempat-tempat yang tidak bisa dilihat atau dikunjungi oleh publik. Privilese tersebut semata demi melayani hak warga atas informasi.
Lewat jendela bidik jurnalis foto lah kita bisa melihat mulai ruang kerja presiden, hingga bilik-bilik pekerja seks. Mulai dari belakang panggung konser hingga ke ruang operasi.
Hal ini yang tidak dipahami oleh Anji sehingga ia membuat pernyataan secara serampangan. Dari Anji kita bisa melihat bahwa akses terhadap internet dan pergaulan tidak serta merta membuat seseorang melek media.
Foto jurnalistik adalah satu sajian berita gambar yang melewati proses kerja jurnalistik. Etika wajib melekat dalam proses kerja tadi. Di tiap negara ada rumusan kode etik sebagai panduan kerja fotografer pewarta.