Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Taufan Wijaya
Jurnalis foto & dosen UMN

Dosen Universitas Multimedia Nusantara, penulis buku "Literasi Visual"

Ketika Foto Jurnalistik Diragukan sebagai Fakta

Kompas.com - 21/07/2020, 12:17 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Memang pada perjalanannya ada segelintir jurnalis foto yang melanggar etika, bahkan merekayasa fakta. Kasus paling populer manipulasi foto jurnalistik yang melibatkan jurnalis foto adalah Brian Walsky dari LA Time pada 2003.

Walsky menggabungkan dua fotonya agar terlihat dramatis pada liputan invasi Irak di dekat Kota Basra. Setelah foto tersebut dimuat, kecurangan Walsky terbongkar karena ada pembaca yang curiga pada bentuk dua lipatan celana yang identik.

Keraguan dalam mengonsumsi informasi sangat penting untuk memelihara daya kritis. Apalagi di era banjir visual agar tidak terkecoh oleh hoaks. Di titik ini, keraguan Anji bisa bernilai positif. Sayangnya keraguan Anji bukanlah dilandasi sikap kritis tapi sinisme.

Foto korban Covid-19 Joshua adalah adegan yang benar-benar terjadi. Ketika Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga turut berkomentar perihal etis dalam foto tersebut, sejatinya fotografer sudah cukup bijak untuk tidak mengungkap identitas pasien dalam foto atau memperlihatkan wajah pasien.

Foto Mayat

Foto mayat selalu bisa diperdebatkan secara etis. Dalam suatu publikasi, media yang menampilkan foto mayat bukan berarti cermin orientasi jurnalismenya.

Majalah TIME pada 2014 memuat foto-foto mayat karya Jerome Sessini tentang jatuhnya Malaysia Airlines. Di sana dicantumkan peringatan konten. Bunyinya, “Peringatan: Beberapa foto berikut menyeramkan dan mungkin dapat mengganggu pembaca.”

Kelly McBride, ketua bidang etika di Poynter Istitute memberi contoh bahwa tak mungkin menunjukkan skala bencana Tsunami tahun 2004 lalu tanpa menampilkan mayat. Tentu orang bisa terganggu tayangan foto mayat korban Tsunami, tapi tujuan mulia yang lebih besar penting dicapai, yaitu mendorong orang mengulurkan bantuan.

Foto mayat tak hanya berdampak bagi pemirsanya. Tapi juga berdampak pada kerabat korban, dan bahkan fotografernya. Memotret kematian bisa meninggalkan trauma. Karena imaji itu bisa terus hinggap dalam ingatan.

Joshua telah menjalani peran penting sebagai jurnalis foto dalam mengutip sepenggal momen kematian korban Covid-19. Karya tersebut perlu tayang agar menggedor kesadaran. Sebagai pengingat agar pembaca tidak bernasib sama dengan subjek foto itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com