Sebelum September 2019, jelas Agus, melalui pengamatan drone terlihat kubah lava masih utuh.
Akan tetapi, pada akhir September 2019, tak ada kubah yang terbentuk. Selain itu, muncul letusan-letusan kecil hingga saat ini yang membuat kubah lava menjadi berkurang.
Pasca letusan 21 Juni 2020, terjadi deformasi signifikan di Pos Babadan.
“Jadi sektor barat laut deformasi 3 cm sejak tanggal 22-29 Juni atau sekitar kurang dari 0,5 cm sehari,” kata dia.
Akan tetapi, potensi bahaya masih diukur dari volume kubah lava dengan radius 3 kilometer dari puncak.
Baca juga: Dua Kemungkinan soal Penggembungan pada Tubuh Gunung Merapi...
Ancaman bahaya dapat meningkat saat terjadi ekstruksi magma mencapai kecepatan 100.000 meter kubik per hari.
Jika itu terjadi, kata Agus, mungkin ada pelebaran arah ancaman tak hanya ke selatan-tenggara, tetapi juga barat-barat laut.
“Memang terjadi pengikisan dinding puncak selatan, tetapi tak mengubah morfologi utama sehingga ancaman masih ke selatan,” ujar Agus.
“Wilayah barat laut lebih meningkat potensi bahayanya di waktu akan datang. Tapi belum nyata karna belum muncul di permukaaan, tunggu data pemantauan. Tapi sudah diantisipasi oleh BPBD sekitar Magelang,” lanjut dia.
Sementara itu, Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Hanik Humaida menyebutkan, deformasi ke arah barat laut memang harus diwaspadai.
Akan tetapi, menurut dia, yang harus lebih diwaspadai adalah bukaan lava yang menuju arah Kali Gendol.
“Potensi bahaya besar masih ke Gendol. Walaupun ini masih dipantau apakah muncul ke tengah atau ke kali gendol. (Saat ini) Potensi Sleman masih ada,” ujar dia.
Ia juga menyebut kondisi Merapi saat ini kemungkinan eksplosivitasnya kecil.
“Saat ini bahaya yang ada abu, apabila nanti ada kubah lava lagi kita antisipasi lagi,” kata Hanik.
Sementara itu, Ahli Gunung Api dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surono mengatakan, penggembungan adalah sesuatu yang wajar pada gunung berapi, termasuk Gunung Merapi.