KOMPAS.com - Media sosial merupakan sebuah keniscayaan pada era digital.
Berdasarkan laporan Hotsuite pada 2019, pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai 150 juta atau naik 15 persen dibandingkan dari tahun 2018.
Namun, arus informasi yang begitu besar dan cepat melalui media sosial, kerap mengaburkan garis antara kebenaran dan kebohongan.
Penggunaan tanda pagar atau tagar pun menjadi salah satu pilihan agar informasi yang ingin disampaikan semakin menggema dan menjadi perhatian di media sosial.
Tak jarang terjadi perang tagar antar kubu yang saling berseberangan. Biasanya, perang tagar muncul saat merespons kebijakan publik.
Misalnya, dalam beberapa hari terakhir, ketika keluhan melonjaknya tagihan listrik banyak diunggah warganet.
Ada tagar #PLNVangke yang kemudian diikuti dengan munculnya "tagar tandingan" #TagihanPLNOkSaja.
Sebelumnya, saat mahasiswa menuntut adanya keringanan pembayaran UKT selama pandemi virus corona, perang tagar terjadi antara #MendikbudDicariMahasiswa dan #NadiemMendengar dengan narasi yang saling berlawanan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Efektifkah perang tagar untuk memengaruhi persepsi publik?
Baca juga: Ramai Tagar #MendikbudDicariMahasiswa di Twitter, Ini Tanggapan Kemendikbud
Pengamat Komunikasi dan Budaya Digital Universitas Indonesia Firman Kurniawan mengatakan, kondisi itu muncul karena adanya situasi yang belum final penjelasannya.
Dengan kata lain, belum ada kejelasan tentang suatu persoalan yang menjadi perhatian publik.
Di sisi lain, publik memiliki ruang untuk mengungkapkan pendapat atas fakta yang terjadi dan hal itu merupakan hal biasa.
"Kekerapan interaksi yang bolak-balik nampak seperti perang opini dan di media sosial akan nampak sebagai perang tagar, di antara dua pihak," kata Firman saat dihubungi Kompas.com, Jumat (12/6/2020).
"Ujung interaksi ini, pada suatu titik, akan terjadi keseimbangan opini, dan diterima sebagai penjelasan yang paling masuk akal. Dalam teorinya ini disebut sebagai spiral of silence," sambungnya.
Dalam realitas komunikasi digital, menurut Firman, seringkali jumlah kuantitatif lebih penting dibandingkan substansi pesan.