JUDUL di atas adalah seruan keprihatinan seorang Bapak di Jogja yang disampaikan pada saya melalui sambungan telepon. Ia meminta saya menyerukan soal ini karena menganggap saya cukup punya kenalan dan pengaruh di elite politik.
Bapak itu marah dan prihatin melihat keramaian di media sosial soal Corona masih tak lepas dari politik Pemilu dukung mendukung Jokowi, Ahok, Anies dan Prabowo.
Akibat politik dukung mendukung, bangsa ini kehilangan obyektivitas kritis menilai kerja pemecahan masalah Corona serta manfaat bagi warga. Komentar-komentar yang bertebaran di medsos cenderung menilai azas manfaat untuk mendukung citra tokoh yang didukungnya, layaknya budaya fans (penggemar) pada Diva, bukan lagi warga pada negarawan.
Dalam buku kumpulan tulisan esai saya di Harian Kompas bertajuk “Negara Melodrama “ (Maret 2019), saya menekankan kecenderungan masyarakat kita sebagai masyarakat melodrama, sebuah rumus penting tontonan opera sabun di televisi yang sudah menjadi virus terbesar kehidupan sehari-hari.
Dalam mayarakat opera sabun, seperti layaknya rumus melodrama , segalanya hitam putih, stereotip, serba pro-kontra serta vulgar. Segalanya menjadi drama, logika terkalahkan emosi.
Tokoh -tokoh utama dibangun serba hitam putih alias baik dan buruk. Segalanya dijalankan dalam siklus penuh konflik, tidak terselesaikan dengan berbagai tema. Pada gilirannya melahirkan budaya fans (penggemar) yang fanatik pada bintangnya.
Sesungguhnya, kajian poltik dan budaya dalam perspektif opera sabun bertumbuh seiring periode awal bertumbuhnya masa emas opera sabun di Amerika sekitar 50-70 an.
Kata “ opera sabun “ dimunculkan ketika salah satu merk sabun mandi menjadi sponsor . Bisa diduga, opera sabun memang ditujukan untuk mengelola psikologi tontonan ibu-ibu di rumah . Sebuah tontonan yang bisa digosipkan dan menjadi ruang pelepasan emosi ibu-ibu .
Harus dicatat, opera sabun Indonesia menjamur seiring lahirnya televisi swasta pasca 1990,lewat awalnya seri “Dynasti“ dari Amerika hingga “Maria Marcedes“ Mexico dan kini Korea.
Dengan kata lain, sudah 30 tahun warga bangsa bertumbuh menjadi masyarakat opera sabun.
Bisa diduga dalam kajian media, politik menjadi tontonan dalam perspektif serba opera sabun, yakni menjamurnya politik dukung mendukung tokoh utama.
Akibatnya, seringkali mencintai tokoh politik bukan lagi sebagai warga kepada negarawan, tetapi penggemar (fans) pada bintangnya.
Opera sabun tidaklah hanya sekumpulan gambar dengan cerita dan membawa bintang, namun membawa simbol, makna dan semacam identitas kepahlawanan di tengah berbagai konflik dan krisis yang serba melodrama.
Harap mahfum, dalam masyarakat melodrama, bertumbuh emosi empati sosial yang sangat besar, menjadi modal sosial di tengah krisis kemanusiaan Corona sekarang ini.
Celakanya, meski empati sosial menjadi modal sosial terbesar bangsa ini, itu senantiasa beriringan dengan menjamurnya dunia gosip dan hoaks.
Hal ini, bisa dibaca, meski media sosial penuh hoaks, namun menjamur kerja sosial warga bangsa, dari bantuan sembako hingga peralatan perlindungan kesehatan ataupun menumbuhkan jejaring informasi dan pengamanan virus Corona. Sebuah dunia kerja sosial yang banyak memberi inovasi dan pembelajaran.
Oleh karena itu, sekarang tidak lagi saatnya kita terkena virus politik dukung mendukung tokoh-tokoh elite tertentu ataupun politikus yang bekerja untuk citranya.
Sekarang saatnya bekerja dan mengkritisi pelayanan dukungan pada warga bangsa, justru ketika modal sosial menjadi kekuatan terbesar bangsa ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.