Emosi, menurut Ela, adalah energi. Jika energi itu di dalam sebuah balon, maka balon akan meletus seiring bertambah banyaknya jumlah energi.
Hal ini lah yang membuat seseorang membutuhkan media untuk menyalurkan emosi itu.
"Kalau kita emosi kita ingin banting pintu, pengen mecahkan gelas, teriak, itu semua adalah energi yang membuat kita butuh penyaluran," kata Ela.
Baca juga: Hari Kesehatan Mental Sedunia, Bagaimana Cara Menyayangi Diri?
Banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyalurkan emosi itu agar lebih bermanfaat, di antaranya adalah dengan menulis ekspresif.
Menurut Ela, seseorang yang secara menuliskan apa yang dia rasakan akan membuatnya berubah secara fisik dan kognisi.
Sebab, seseorang yang tengah depresi atau mengalami tekanan perasaan cenderung rentan terserang sakit.
"Kalau fisik ternyata bisa meningkatkan imunitas, anti bodi. Kedua, dengan menulis kita akan bisa menyadari perasaan kita," ungkap dia.
"Ada juga proses kognitif yang Anda alami, yaitu kemampuannya untuk membuat sesuatu itu lebih tertata dan terlatih," lanjutnya.
Menurutnya, hal yang dibutuhkan saat menulis ekspresif adalah kejujuran atau tanpa sensor.
Apabila terjadi sebuah proses pelepasan beban yang dirasakan, baik sedikit maupun banyak, maka proses menulis ekspresif tersebut bisa dikatakan berhasil.
Hal inilah yang dirasakan oleh salah seorang peserta workshop ketika pengalaman masa lalu yang membuatnya sedih.
"Nilainya 10 (sangat sedih) karena apa yang saya tuliskan adalah titik terendah dalam hidup saya. Setelah menulis dalam selembar kertas ini, saya pun sedikit merasa lega," kata Dziaul Haq, salah seorang peserta workshop.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.