KOMPAS.com - Gelombang penolakan terhadap sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) masih berlangsung hingga Kamis (26/9/2019).
Selain unsur mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya, turut serta para pelajar melakukan aksi dengan tuntutan yang sama.
Bahkan pada Rabu (25/9/2019) pagi, tagar #STMMelawan, #STMBergerak dan sejumlah tagar lainnya mendominasi trending Twitter Indonesia.
Sejumlah video dan foto di Twitter yang menggambarkan para pelajar STM yang turut melakukan aksi demo bersama mahasiswa ramai diperbincangkan netizen.
Sebagian besar dari netizen Indonesia mengungkapkan rasa bangganya terhadap kepedulian para siswa STM yang iku turun ke jalan.
"Anak STM melek Politik juga ternyata. Mantab, tinggalkan PKL. Saatnya turun ke jalan. Indonesia sedang tidak baik - baik saja," tulis salah satu pengguna Twitter.
entrance (terduga) anak-anak STM keren bangat pic.twitter.com/xGB626utua
— meisya and 666 others (@meisyacv) September 24, 2019
Meski demo yang dilakukan para pelajar tampak seperti hal yang baru, namun Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Prof. Koentjoro mengatakan aksi pelajar turun ke jalan bukanlah yang pertama kali di Indonesia.
“Ini bukan yang pertama. Ini seperti Gerakan tahun 1966. Waktu itu kejadian Tritura, di mana merupakan upaya melengserkan Presiden Soekarno,” ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (26/9/2019).
Ia menjelaskan, ketika itu terdapat organisasi pelajar KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) di Yogyakarta.
Lebih lanjut ia menceritakan ketika itu terdapat 2 pelajar yang meninggal akibat demo-demo yang terjadi.
“Meski sekarang belum bisa dideteksi apakah ini digerakkan atau tidak, yang jelas pelajar yang melakukan aksi bukan hanya kali ini saja,” kata Koentjoro.
Baca juga: Viral Anak STM Ikut Demo di Depan Gedung DPR, Ini Faktanya...
Ia menyebut, sekarang ini Indonesia masuk dalam masa mengambang di mana politik tak lagi masuk ke kampung-kampung. Sehingga Koentjoro sedikit meragukan apakah anak-anak STM yang turun ke jalan benar-benar paham apa yang disuarakannya.
“Dulu walaupun anak-anak SMA, pemahaman tentang partai itu sudah mengakar di kampung-kampung. Jadi biarpun mereka masih SMA, mereka sudah mampu berpolitik sangat mungkin,” ungkapnya.
Koentjoro mengkhawatirkan, aksi anak-anak STM ini digerakkan oleh orang-orang yang memanfaatkan apa yang terjadi dalam pertumbuhan para pelajar.
“Ini kan masa-masa mereka keluar dari aturan rumah. Jadi waktu SD dan SMP awal di mana biasanya mereka dikendalikan orang tua dengan aturan rumah, maka begitu remaja mereka berpindah pada kelompok sebayanya. Disitulah mereka dikendalikan,” ujarnya.