DALAM serangkaian catatan, semenjak artikel ini terbit, penulis akan menurunkan sejumlah tulisan berkaitan dengan Pameran Besar Seni Rupa 2019 “Kayuh Baimbai”di Samarinda, Kalimantan yang digelar pada September ini.
Seperti yang disebutkan di artikel pada Mei lalu, Festival seni kali ini, yang dirangkai dengan tajuk Kayuh Baimbai yang bermakna cair, memberi peluang kebebasan berekspresi tentang konsep “gotong-royong”, yang terbagi dalam tiga zonasi.
Tulisan pertama, tentang Zonasi Peradaban Tua Kalimantan, memamparkan sejumlah seniman dari beberapa provinsi di Kalimantan, yang memberi penampang ekspresi-ekspresi seni dengan melingkupi pembacaan atas sejarah ratusan tahun budaya di Pulau Kalimantan.
Dalam tulisan ini, tak semua seniman ditampilkan, namun hanya perwakilan yang dirasa penulis cukup mamadai, terutama hasil foto dan tampilan karya yang layak muat. Bukan nilai estetika yang tentunya dalam pameran nanti, zonasi ini akan banyak sekali karya-karya cukup segar dan layak apresiasi.
Baca juga: Kayuh Baimbai, Festival Seni dan Tiga Zonasi di Kalimantan
Sementara itu, sejarah dan peradaban layaknya saudara kembar. Jika peradaban manifestasinya adalah kompleksitas majemuknya budaya, hal-ihwal kehidupan manusia sampai pencapaian puncaknya sebagai homo-sapiens—dengan daya spiritualitas dan olah nalar.
Maka, sejarah adalah tempat bersemayamnya waktu dan peristiwa, yang mana manusia-manusia memberi makna atas hidup dan bertahta di atasnya.
Sejarawan besar, filsuf ilmu sejarah dari Inggeris yang menulis A Study of History; Arnold J. Toynbee memang benar menyatakan bahwa peradaban tak pernah binasa.
Peradaban mungkin sekarat, namun tetap hidup; bahkan lahir kembali menjadi energi yang berkembang, karena peradaban sejatinya adalah eros (energi hidup).
Tradisi kemudian hadir, sebagai peristiwa-peristiwa bermakna yang mengikat kita, sebagaimana suatu generasi mewarisi generasi lainnya pada masa lalu.
Secara psikis dan kolektif baik objek berupa artefak, atau yang non-fisik seperti nilai-nilai lisan atau nasihat serta tembang-tembang (nyanyian), mantra, atau sebuah panggung yang terus-menerus diperbarui dalam bentuk dan kondisi yang berbeda namun secara substansi sama, dipergelarkan seperti ritual-ritual khusus, bahkan pada abad ke-21 ini.
Kalimantan memiliki ingatan-ingatan kolektif tentang ini, seperti kita tahu dalam konsep Archtypes dari sarjana Carl Gustaff Jung, bisa kita jelajahi proses yang yang lama, jauh sekali, bahkan satu millenium lalu semenjak dari daerah Kutai kuno, berciri Hindu.
Baca juga: INFOGRAFIK: Tol Balikpapan-Samarinda, Jalan Tol Pertama di Kalimantan
Kemudian berakarnya budaya Dayak sampai memori datangnya pengaruh Islam, misalnya di masyarakat Banjar atau kesultanan Islam di Pontianak benar-benar masih terasa pada masa modern ini.
Proses mengingat ini menjadi wujud pewarisan yang bagi seniman-seniman, menurut ilmuwan Richard Schechner, ahli seni, yang mengkaji antropologi berkelindan dengan ritual dalam seni pertunjukan, adalah tradisi sebagai sebentuk proses ingatan, spiritualitas sekaligus ekspresi hiburan dalam memanggungkan sesuatu.
Ekspresi Para Perupa