Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Zona Peradaban Tua Kalimantan dan Sejarah di Festival Seni

Seperti yang disebutkan di artikel pada Mei lalu, Festival seni kali ini, yang dirangkai dengan tajuk Kayuh Baimbai yang bermakna cair, memberi peluang kebebasan berekspresi tentang konsep “gotong-royong”, yang terbagi dalam tiga zonasi.

Tulisan pertama, tentang Zonasi Peradaban Tua Kalimantan, memamparkan sejumlah seniman dari beberapa provinsi di Kalimantan, yang memberi penampang ekspresi-ekspresi seni dengan melingkupi pembacaan atas sejarah ratusan tahun budaya di Pulau Kalimantan.

Dalam tulisan ini, tak semua seniman ditampilkan, namun hanya perwakilan yang dirasa penulis cukup mamadai, terutama hasil foto dan tampilan karya yang layak muat. Bukan nilai estetika yang tentunya dalam pameran nanti, zonasi ini akan banyak sekali karya-karya cukup segar dan layak apresiasi.

Sementara itu, sejarah dan peradaban layaknya saudara kembar. Jika peradaban manifestasinya adalah kompleksitas majemuknya budaya, hal-ihwal kehidupan manusia sampai pencapaian puncaknya sebagai homo-sapiens—dengan daya spiritualitas dan olah nalar.

Maka, sejarah adalah tempat bersemayamnya waktu dan peristiwa, yang mana manusia-manusia memberi makna atas hidup dan bertahta di atasnya.

Sejarawan besar, filsuf ilmu sejarah dari Inggeris yang menulis A Study of History; Arnold J. Toynbee memang benar menyatakan bahwa peradaban tak pernah binasa.

Peradaban mungkin sekarat, namun tetap hidup; bahkan lahir kembali menjadi energi yang berkembang, karena peradaban sejatinya adalah eros (energi hidup).

Tradisi kemudian hadir, sebagai peristiwa-peristiwa bermakna yang mengikat kita, sebagaimana suatu generasi mewarisi generasi lainnya pada masa lalu.

Secara psikis dan kolektif baik objek berupa artefak, atau yang non-fisik seperti nilai-nilai lisan atau nasihat serta tembang-tembang (nyanyian), mantra, atau sebuah panggung yang terus-menerus diperbarui dalam bentuk dan kondisi yang berbeda namun secara substansi sama, dipergelarkan seperti ritual-ritual khusus, bahkan pada abad ke-21 ini.

Kalimantan memiliki ingatan-ingatan kolektif tentang ini, seperti kita tahu dalam konsep Archtypes dari sarjana Carl Gustaff Jung, bisa kita jelajahi proses yang yang lama, jauh sekali, bahkan satu millenium lalu semenjak dari daerah Kutai kuno, berciri Hindu.

Kemudian berakarnya budaya Dayak sampai memori datangnya pengaruh Islam, misalnya di masyarakat Banjar atau kesultanan Islam di Pontianak benar-benar masih terasa pada masa modern ini.

Proses mengingat ini menjadi wujud pewarisan yang bagi seniman-seniman, menurut ilmuwan Richard Schechner, ahli seni, yang mengkaji antropologi berkelindan dengan ritual dalam seni pertunjukan, adalah tradisi sebagai sebentuk proses ingatan, spiritualitas sekaligus ekspresi hiburan dalam memanggungkan sesuatu.

Ekspresi Para Perupa

Perupa Agustin Panca, dari Kalimantan Timur memanggungkan sebuah instalasi Hudoq Pelindung Budaya, yang menyimbolkan abstraksi figur roh para Dewa pemelihara alam yang melindungi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Timur.

Hal yang diyakini menjaga kemakmuran sekaligus melindungi para petani. Simbol tentang hudoq melekat pada caping (topi) petani pada karyanya, yang membawa makna filosofi untuk melindungi kepala para petani dari sengatan matahari tatkala bercocok tanam.

Uniknya, Agustin memilih siluet burung Garuda, di tengah-tengah caping yang disusun berkomposisi rapi, mengingatkan lambang ideologi Pancasila. Adakah ini, sebuah harapan, secara normatif, Agustin percaya bahwa Pancasila identik dengan roh para Dewa pemelihara alam Kalimantan?

Agar integritas sebagai bangsa yang bersatu, meski berbeda-beda, tetap menjadi Indonesia? “Keindonesiaan, seperti juga hudoq, mungkin mampu menghindarkan sengketa dan petaka,” ujar Agustin yang dituangkan dalam narasi karya.

Sementara Doni Paul, dari Kalimantan Tengah, membaca tema Kayuh Baimbai sebagai manifestasi keseimbangan semesta. Ia mengeksplorasi Batang Garing, tradisi dari Dayak Ngaju, atau dalam bahasa Sangiang sering disebut Batang Haring: Pohon Kehidupan.

Batang Garing memiliki hikayat yang panjang, dari sejak tuturan para basir/pisor (rohaniawan Hindu Kaharingan) yang dalam memimpin ritual salah satunya adalah pada ritual Balaku Untung (memohon umur panjang) sampai kisah Raja Tunggal Sangomang yang menaiki Batang Garing yang disebut Batang Kayu Erang Tinggang.

Doni mengkonstruksi karyanya sesuai referensi kuno tentang Pohon berbentuk tombak (Ranying Pandereh Bunu) yang menunjuk ke atas, melambangkan Ranying Hatalla Langit. Bagian dasar pohon yang ditandai oleh adanya guci (katalatah) berisi air suci yang melambangkan Jatha Balawang Bulau atau dunia bawah.

Dari sana ada sebuah pesan, bahwa manusia semenjak dulu bahkan sampai saat ini, selayaknya menjaga keseimbangan antara yang profan dan yang sakral, bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda.

Mereka telah menyetubuh di antara lokasi dan ingatan atas Kalimantan Barat dan keseluruhan teritori Kalimantan, cikal-bakal provinsi-provinsi bagian dari Indonesia. Mereka menggambarkan dua tokoh: Sultan Hamid II dan Tjilik Riwut.

Dua tokoh penting yang bermuara pada eksistensi bangsa majemuk ini, berhutang pada masa lalu. Sultan Hamid II, sebagai sang desainer lambang Garuda Pancasila, tokoh tradisi dan militer yang dididik di Belanda pada awal abad ke-20, yang mewarisi Kesultanan Islam Kadriah, menjadi pusat kebanggan komunal warga Pontianak.

Demikian pula Tjilik Riwut, tokoh politik, Tentara Nasional Indonesia yang terlibat pada revolusi fisik pada perang kemerdekaan, yang menjadi sosok panutan warga Dayak dan Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Dua sosok ini memberi kronik atas hamparan besar budaya-budaya yang sudah dan akan terus bermanifestasi dalam hidup keseharian di Kalimantan, pertemuan-pertemuan kultural tokoh Melayu dan Tokoh Dayak dalam seni yang memberi kekayaan bagi Indonesia.

Puji Rahayu, perupa dari Kalimantan Barat, memilih seperti gugusan objek-objek kecil berdimensi menonjol keluar dari kanvas lukisan, semacam relief, sekilas kita melihat seperti perahu-perahu kecil berputar, membuat konfigurasi,

Puji memberi juluk Mengayuh Harapan, yang bisa menjadi refleksi personal seniman bahwa Pulau Borneo yang identik dengan kehidupan sungai, sepanjang peradaban tua-nya, memberi inspirasi terhadap pengalaman-pengalaman material pun spiritual baginya.

“Kayuh, yakni upaya mengayuh di sungai dengan perahu, adalah simbol perjuangan dalam menumpang “bahtera hidup” secara lahir dan batin. Gelombang rintangan yang menghadang tentu saja akan selalu terjadi di tiap perjalanan dari kita” ungkapnya, dalam narasi karya.

Menurut Puji, Mengayuh Harapan, bukan berarti telah lepas dari musibah, mengakhiri sebuah tantangan, namun silih berganti menghadapi yang terperih dan paling membahagiakan bagi tiap manusia, bumi dan seluruh alam dalam kehidupan ini.

Perupa lainnya, yang juga perempuan, Diyah Yulianti dari Kalimantan Selatan dan sekarang berdomisili di Yogjakarta memilih internalisasi batin-nya, mengungkap Dayak dan Kalimantan dengan lukisan berjuluk Soul House, berukuran 160 x 140 cm, Mixed Media.

Diah dengan lukisan ini, yang beraroma ekspresif, dengan ciri abstraksi atas dunia dalam diri, meminjam konsepnya dari Rumah Dayak. Masyarakat Kalimantan, sebuah keniscayaan memegang teguh warisan leluhur berupa rumah adat.

Rumah adat inilah, yang menurut Diah, selama bertahun-tahun, ia cukup lama sempat berpindah-pindah meneliti di bukit Meratus, dengan Suku Bukit, ingin terus-menerus memahami Rumah besar yang di huni kurang lebih 20 hingga 30 keluarga.

“Rumah Dayak ini, tak sekadar tempat berteduh, namun menjadi pusat kosmologi kehidupan Dayak, selain ada pranata-pranata sistem sosial di dalamnya” ungkap Diah.

Bagi Diah, warna putih yang melambangkan kebersihan jiwa, warna merah atau oranye simbol keberanian, pantang menyerah. Sementara kuning merepresentasikan kewibawaan dan juga hitam simbol keteduhan adalah warna-warna sangat lokal, artikulasi-artikulasi yang membawa karakter tentang kerukunan, relasi manusia dan alam serta segala jenis yang hidup.

Sedangkan bagi fotografer dan aktivis Viktor Fidellis, dari Kalimantan Barat, dengan foto-foto dukumenternya berdudul Dalo’ Kehidupan Setelah Kematian, meminjam keyakinan Uud Danum, manusia yang meninggal tidak langsung kembali ke kahyangan atau nirwana.

Untuk itu, harus dilaksanakan ritual pengantaran arwah. Terdapat beberapa ritual adat yang akan menentukan akan kemana ke mana arwah pergi.

Dalok yang terbesar adalah Dalok Kodiring, yang mana tulang belulang jenazah dipindahkan dari makam ke rumah arwah yang disebut dengan Sandung, seperti yang dilihat di foto, tengkorak jenazah dijunjung bersama oleh keluarganya.

Ritual Dalok merupakan pilar penting dalam kepercayaan Kaharingan masyarakat Uud Danum. Fotografi, mampu membawa pengertian bahwa sebagai sebuah tontonan atau hiburan pada saat ini, ia menjadi gambaran warisan spiritual tentang ingatan-ingatan yang lama dan tak lekang oleh zaman.

Pelukis Yerie Yulanda, masih dari Kalimantan Barat memamerkan karyanya The Power of Dayak Iban, berukuran 90 cm x 120 cm, dengan cat minyak ia membawa Pulau Kalimantan dengan Dayak Iban dengan tato di punggung.

“Lukisan ini memvisualisasikan figur dari masyarakat suku Dayak Iban, yang membawa pesan karakter dari motif-motif tato tubuh khas suku Iban, di Kalimantan Barat; yang bersikap berani dan bersikap optimis menghadapi berbagai tantangan” ujarnya.

Tato-tato itu seakan jeritan histeris, masih mampukah komunitas Dayak Iban berani menghadapi ancaman perusakan hutan dari tangan-tangan pemilik modal besar?

Secara keseluruhan, di Zonasi Peradaban Tua ini, seniman-seniman masih konsisten memilih narasi-narasi tua, sejarah, konsep-konsep kosmologis, objek dan penanda tradisi yang ditawarkan kerangka kuratorial, yang sekalipun jarak visual, secara tegas tak begitu menampak dalam kehidupan keseharian, nilai-nilai masih tetap terasa di jantung Sungai Mahakam dan Kota Samarinda, sebagai pusat pameran nantinya di Big Mall.

Sementara itu, penulis sempat mewancarai Restu Gunawan, Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, sebagai penanggung jawab acara. Ia mengatakan, “Penyelenggaraan pameran kali ini dihelat di mal, sebuah pameran besar seni rupa di Samarinda, yang merupakan upaya mendekatkan diri pada publik umum. Sarana melepas jarak antara seni dan apresiannya.”

Restu menambahkan, jika pergelaran ini menguatkan juga dalam dua hal, yakni pergelaran mengundang seniman serumpun di Kalimantan menyoal etnik di Serawak, Malaysia dan Brunei, sebagai diplomasi budaya antar negeri.

Juga inti dari Zonasi Peradaban Tua mengingatkan bahwa jantung utama masyarakat Kalimantan adalah sungai, hutan dan segala ikhwal tentang yang hidup.

https://www.kompas.com/tren/read/2019/09/06/184104365/zona-peradaban-tua-kalimantan-dan-sejarah-di-festival-seni

Terkini Lainnya

Penonaktifan NIK Warga DKI Jakarta Berdampak Tak Bisa Gunakan BPJS Kesehatan, Bagaimana Solusinya?

Penonaktifan NIK Warga DKI Jakarta Berdampak Tak Bisa Gunakan BPJS Kesehatan, Bagaimana Solusinya?

Tren
Menakar Peluang Indonesia Menang atas Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024

Menakar Peluang Indonesia Menang atas Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23 2024

Tren
3 Wanita Positif HIV Setelah Perawatan Kecantikan 'Vampire Facial'

3 Wanita Positif HIV Setelah Perawatan Kecantikan "Vampire Facial"

Tren
6 Temuan Kasus Bunuh Diri Brigadir RAT

6 Temuan Kasus Bunuh Diri Brigadir RAT

Tren
63 Persen Wilayah Masuk Kemarau Mei-Agustus, BMKG: Cuaca Ekstrem Masih Mengintai

63 Persen Wilayah Masuk Kemarau Mei-Agustus, BMKG: Cuaca Ekstrem Masih Mengintai

Tren
El Nino Berpotensi Digantikan La Nina, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

El Nino Berpotensi Digantikan La Nina, Apa Dampaknya bagi Indonesia?

Tren
Analisis Gempa M 6,5 di Garut, BMKG: Bukan Megathrust

Analisis Gempa M 6,5 di Garut, BMKG: Bukan Megathrust

Tren
Jarang Diketahui, Ini 5 Jenis Makanan yang Sebaiknya Tak Dikonsumsi Bersama dengan Kafein

Jarang Diketahui, Ini 5 Jenis Makanan yang Sebaiknya Tak Dikonsumsi Bersama dengan Kafein

Tren
7 Tanda Terlalu Lama Berlari dan Bisa Membahayakan Tubuh, Apa Saja?

7 Tanda Terlalu Lama Berlari dan Bisa Membahayakan Tubuh, Apa Saja?

Tren
Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 28-29 April 2024

Wilayah Berpotensi Hujan Lebat, Petir, dan Angin Kencang pada 28-29 April 2024

Tren
[POPULER TREN] Tanda Tubuh Kelebihan Gula | Kekuatan Timnas Uzbekistan

[POPULER TREN] Tanda Tubuh Kelebihan Gula | Kekuatan Timnas Uzbekistan

Tren
7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

7 Mata Uang dengan Nilai Paling Lemah di Dunia, Indonesia di Urutan Kelima

Tren
Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Sejarah Head to Head Indonesia Vs Uzbekistan, 6 Kali Bertemu dan Belum Pernah Menang

Tren
Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Shin Tae-yong, Dulu Jegal Indonesia di Piala Asia, Kini Singkirkan Korea Selatan

Tren
Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Alasan Anda Tidak Boleh Melihat Langsung ke Arah Gerhana Matahari, Ini Bahayanya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke