Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Asrini Widjanarko
Kurator seni

Kurator seni, esais isu-isu sosial budaya, aktivis, dan seorang guru. Kontak: asriniwidjanarko@gmail.com

Zona Peradaban Tua Kalimantan dan Sejarah di Festival Seni

Kompas.com - 06/09/2019, 18:41 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Perupa Agustin Panca, dari Kalimantan Timur memanggungkan sebuah instalasi Hudoq Pelindung Budaya, yang menyimbolkan abstraksi figur roh para Dewa pemelihara alam yang melindungi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Timur.

Hal yang diyakini menjaga kemakmuran sekaligus melindungi para petani. Simbol tentang hudoq melekat pada caping (topi) petani pada karyanya, yang membawa makna filosofi untuk melindungi kepala para petani dari sengatan matahari tatkala bercocok tanam.

Uniknya, Agustin memilih siluet burung Garuda, di tengah-tengah caping yang disusun berkomposisi rapi, mengingatkan lambang ideologi Pancasila. Adakah ini, sebuah harapan, secara normatif, Agustin percaya bahwa Pancasila identik dengan roh para Dewa pemelihara alam Kalimantan?

Agar integritas sebagai bangsa yang bersatu, meski berbeda-beda, tetap menjadi Indonesia? “Keindonesiaan, seperti juga hudoq, mungkin mampu menghindarkan sengketa dan petaka,” ujar Agustin yang dituangkan dalam narasi karya.

Sementara Doni Paul, dari Kalimantan Tengah, membaca tema Kayuh Baimbai sebagai manifestasi keseimbangan semesta. Ia mengeksplorasi Batang Garing, tradisi dari Dayak Ngaju, atau dalam bahasa Sangiang sering disebut Batang Haring: Pohon Kehidupan.

Batang Garing memiliki hikayat yang panjang, dari sejak tuturan para basir/pisor (rohaniawan Hindu Kaharingan) yang dalam memimpin ritual salah satunya adalah pada ritual Balaku Untung (memohon umur panjang) sampai kisah Raja Tunggal Sangomang yang menaiki Batang Garing yang disebut Batang Kayu Erang Tinggang.

Doni mengkonstruksi karyanya sesuai referensi kuno tentang Pohon berbentuk tombak (Ranying Pandereh Bunu) yang menunjuk ke atas, melambangkan Ranying Hatalla Langit. Bagian dasar pohon yang ditandai oleh adanya guci (katalatah) berisi air suci yang melambangkan Jatha Balawang Bulau atau dunia bawah.

Dari sana ada sebuah pesan, bahwa manusia semenjak dulu bahkan sampai saat ini, selayaknya menjaga keseimbangan antara yang profan dan yang sakral, bahwa dunia atas dan dunia bawah pada hakikatnya bukanlah dua dunia yang berbeda.

Yerie Yulanda, The Power of Dyak Iban, Cat Minyak di atas kanvas, 90x120cm, 2019.Dok Yerie Yulanda Yerie Yulanda, The Power of Dyak Iban, Cat Minyak di atas kanvas, 90x120cm, 2019.
Sementara, para bomber, seniman-seniman street art, dengan juluk Kolektif Kampung Beting, dari Kalimantan Barat, kota Pontianak, menyukai lontaran sejarah lokalitas, menoleh kembali sebuah area kampung yang dianggap kumuh dan rawan kriminal, yang kini terus berbenah.

Mereka telah menyetubuh di antara lokasi dan ingatan atas Kalimantan Barat dan keseluruhan teritori Kalimantan, cikal-bakal provinsi-provinsi bagian dari Indonesia. Mereka menggambarkan dua tokoh: Sultan Hamid II dan Tjilik Riwut.

Dua tokoh penting yang bermuara pada eksistensi bangsa majemuk ini, berhutang pada masa lalu. Sultan Hamid II, sebagai sang desainer lambang Garuda Pancasila, tokoh tradisi dan militer yang dididik di Belanda pada awal abad ke-20, yang mewarisi Kesultanan Islam Kadriah, menjadi pusat kebanggan komunal warga Pontianak.

Demikian pula Tjilik Riwut, tokoh politik, Tentara Nasional Indonesia yang terlibat pada revolusi fisik pada perang kemerdekaan, yang menjadi sosok panutan warga Dayak dan Palangkaraya di Kalimantan Tengah.

Dua sosok ini memberi kronik atas hamparan besar budaya-budaya yang sudah dan akan terus bermanifestasi dalam hidup keseharian di Kalimantan, pertemuan-pertemuan kultural tokoh Melayu dan Tokoh Dayak dalam seni yang memberi kekayaan bagi Indonesia.

Puji Rahayu, perupa dari Kalimantan Barat, memilih seperti gugusan objek-objek kecil berdimensi menonjol keluar dari kanvas lukisan, semacam relief, sekilas kita melihat seperti perahu-perahu kecil berputar, membuat konfigurasi,

Puji memberi juluk Mengayuh Harapan, yang bisa menjadi refleksi personal seniman bahwa Pulau Borneo yang identik dengan kehidupan sungai, sepanjang peradaban tua-nya, memberi inspirasi terhadap pengalaman-pengalaman material pun spiritual baginya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com