Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
The Conversation
Wartawan dan akademisi

Platform kolaborasi antara wartawan dan akademisi dalam menyebarluaskan analisis dan riset kepada khalayak luas.

Dilema Mobil Listrik dan Emisi Gas Rumah Kaca

Kompas.com - 17/08/2019, 07:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Alloysius Joko Purwanto

PRESIDEN Joko Widodo baru saja menerbitkan Peraturan Presiden tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan awal minggu ini.

Peraturan tersebut akan mengatur pemberian insentif kepada produsen yang menjual dan memproduksi kendaraan listrik. Tak lama lagi diharapkan terbit revisi atas Peraturan Pemerintah tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang bisa menurunkan harga mobil listrik.

Kedua aturan ini dikeluarkan dalam upaya pemerintah mendorong penggunaan kendaraan bermotor beremisi karbon rendah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen pada 2030.

Sebagai bagian dari strategi tersebut, Kementerian Perindustrian menargetkan produksi kendaraan listrik di Indonesia akan mencapai lebih dari 20 persen dari total produksi kendaraan bermotor pada 2025.

Namun, penelitian terbaru yang kami lakukan di Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menemukan bahwa upaya pemerintah dalam mendorong penggunaan kendaraan listrik untuk mengurangi emisi GRK ini akan sia-sia jika pembangkit tenaga listrik di Indonesia masih mengandalkan batu bara.

Hasil penelitian

Mengapa berkembangnya jumlah mobil listrik di Indonesia kelak tidak selalu akan berkontribusi untuk menurunkan emisi gas rumah kaca?

Jawaban atas pertanyaan ini tergantung pada bagaimana tenaga listrik dihasilkan di negara kita dan bagaimana baterai mobil-mobil listrik tersebut kelak akan diisi.

Ada dua jenis kendaraan listrik yang akan beredar di pasar otomotif di Indonesia yang dibedakan dari sumber energinya.

Jenis pertama adalah kendaraan yang memiliki mesin listrik dari baterai yang dicolok (plug-in). Ada dua tipe dari mobil listrik jenis colok ini yaitu yang menggunakan baterai saja dan yang menggunakan baterai dan juga bensin.

Jenis kedua adalah kendaraan listrik hibrida yang digerakkan oleh bahan bakar bensin dan baterai kecil yang mendapatkan tenaga listriknya dari pemanfaatan tenaga kinetis yang dihasilkan saat pengereman.

Penelitian kami berusaha mengukur dampak penggunaan kendaraan listrik pada masa depan.

Kami berangkat dengan asumsi bahwa pemerintah akan mencapai target 20 persen produksi dan penjualan mobil listrik pada 2025 dan industri ini akan tumbuh hingga tahun 2040.

Hingga 2040, kajian ERIA memperkirakan komposisi industri mobil Indonesia akan terdiri mobil listrik colok atau plug-in (30 persen), mobil listrik hibrida (20 persen), dan mobil konvensional (50 persen).

Kami menemukan bahwa dengan komposisi mobil listrik mencapai 50 persen pada 2040, Indonesia baru bisa mengurangi total emisi karbon dioksida sebesar 10 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Mengenal Apa Itu Eksoplanet? Berikut Pengertian dan Jenis-jenisnya

Tren
Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Indonesia U20 Akan Berlaga di Toulon Cup 2024, Ini Sejarah Turnamennya

Tren
7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

7 Efek Samping Minum Susu di Malam Hari yang Jarang Diketahui, Apa Saja?

Tren
Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU 'Self Service', Bagaimana Solusinya?

Video Viral, Pengendara Motor Kesulitan Isi BBM di SPBU "Self Service", Bagaimana Solusinya?

Tren
Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Pedang Excalibur Berumur 1.000 Tahun Ditemukan, Diduga dari Era Kejayaan Islam di Spanyol

Tren
Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Jadwal Pertandingan Timnas Indonesia Sepanjang 2024 Usai Gagal Olimpiade

Tren
6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

6 Manfaat Minum Wedang Jahe Lemon Menurut Sains, Apa Saja?

Tren
BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

BPJS Kesehatan: Peserta Bisa Berobat Hanya dengan Menunjukkan KTP Tanpa Tambahan Berkas Lain

Tren
7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

7 Rekomendasi Olahraga untuk Wanita Usia 50 Tahun ke Atas, Salah Satunya Angkat Beban

Tren
Tentara Israel Disengat Ratusan Tawon Saat Lakukan Operasi Militer di Jalur Gaza

Tentara Israel Disengat Ratusan Tawon Saat Lakukan Operasi Militer di Jalur Gaza

Tren
5 Sistem Tulisan yang Paling Banyak Digunakan di Dunia

5 Sistem Tulisan yang Paling Banyak Digunakan di Dunia

Tren
BMKG Catat Suhu Tertinggi di Indonesia hingga Mei 2024, Ada di Kota Mana?

BMKG Catat Suhu Tertinggi di Indonesia hingga Mei 2024, Ada di Kota Mana?

Tren
90 Penerbangan Maskapai India Dibatalkan Imbas Ratusan Kru Cuti Sakit Massal

90 Penerbangan Maskapai India Dibatalkan Imbas Ratusan Kru Cuti Sakit Massal

Tren
Musim Kemarau 2024 di Yogyakarta Disebut Lebih Panas dari Tahun Sebelumnya, Ini Kata BMKG

Musim Kemarau 2024 di Yogyakarta Disebut Lebih Panas dari Tahun Sebelumnya, Ini Kata BMKG

Tren
Demam Lassa Mewabah di Nigeria, 156 Meninggal dalam 4 Bulan

Demam Lassa Mewabah di Nigeria, 156 Meninggal dalam 4 Bulan

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com