Penurunan 10 persen itu juga terjadi dengan asumsi bahwa pemerintah menggunakan komposisi energi yang lebih "bersih" untuk pembangkit tenaga listrik yang persentase pembangkit listrik bertenaga batu-bara tidak lebih dari 50 persen, sementara pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan mencapai persentase lebih dari 25 persen. Komposisi energi seperti itu akan melepaskan 535 gram karbon dioksida untuk setiap kilowatt-jam listrik.
Namun, jika komposisi energi yang digunakan untuk pembangkit listrik di Indonesia tidak berubah dari situasi saat ini, maka target mobil listrik yang ditetapkan pemerintah tidak akan mengurangi emisi gas rumah kaca sama sekali.
Saat ini, energi yang dihasilkan di pembangkit listrik Indonesia berasal dari batu bara (56 persen), gas alam (25 persen), minyak bumi (8 persen), dan energi terbarukan (11 persen).
Dengan komposisi demikian, pembangkitan listrik di Indonesia saat ini secara rata-rata melepaskan 840 gram karbon dioksida untuk setiap kilowatt-jam listrik yang dihasilkan.
Mencapai penggunaan energi terbarukan sebesar 25 persen dalam pembangkitan listrik adalah sebuah syarat mutlak jika mobil listrik colok diharapkan akan berkontribusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
Peningkatan persentase penggunaan batu bara atau penurunan penggunaan energi terbarukan dalam pembangkitan tenaga listrik masa mendatang akan berakibat bahwa penetrasi mobil listrik colok di Indonesia justru akan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Selain itu, kapan dan bagaimana baterai mobil listrik colok diisi akan menentukan komposisi pembangkit tenaga listrik yang dibutuhkan untuk mengisi tenaga listrik kendaraan. Hal ini jelas berpengaruh pada emisi gas rumah kaca.
Berbagai kajian di negara-negara dengan tingkat penetrasi mobil listrik yang tinggi menunjukkan bahwa ketika pengisian baterai mobil listrik tidak diatur, para pengguna akan memiliki kecenderungan untuk mengisi baterai mobil mereka di rumah segera setelah mereka pulang bekerja, misalnya pada senja atau malam hari antara pukul 6 dan 9.
Di Indonesia hal ini tentu akan menambah beban jaringan listrik yang pada jam-jam tersebut tentunya sedang mengalami puncak pembebanan.
Kajian-kajian tersebut menunjukkan bahwa pengisian baterai mobil listrik di negara-negara dengan jumlah mobil listrik colok yang cukup besar seperti Jerman dan Cina biasanya dilakukan pada senja hari.
Mereka menggunakan pembangkit-pembangkit bertenaga batu bara atau gas alam karena pembangkit-pembangkit berkarbon tinggi seperti itulah yang pada umumnya dipakai untuk menyuplai permintaan tambahan tenaga listrik pada jam-jam puncak.
Sebagai akibatnya, pengisian mobil listrik colok di periode tersebut menaikkan emisi karbon dioksida.
Belajar dari negara-negara lain, penggunaan mobil listrik untuk mengurangi emisi gas rumah kaca tidak akan terwujud tanpa dua kebijakan tambahan di dua sektor: peningkatan penggunaan energi terbarukan untuk pembangkitan listrik dan manajemen pengisi baterai mobil-mobil listrik colok.
Untuk sektor pembangkitan listrik, Indonesia harus mencapai komposisi penggunaan energi seperti yang ditargetkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2018–2027 dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional 2018-2037.
Dalam rencana itu, persentase penggunaan tenaga batu bara pada pembangkitan listrik akan turun dari 54 persen pada 2025 menjadi 48 persen pada 2037. Lalu penggunaan energi terbarukan akan meningkat dari 25 persen pada 2025 menjadi 27 persen pada 2037.