Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Jantung Bumi Berdetak Setiap 27 Juta Tahun Sekali dan Picu Kepunahan Massal, Kapan Berdetak Lagi?

KOMPAS.com - Sebuah penelitian menemukan, Bumi ternyata memiliki "detak jantung" yang lambat dan stabil setiap 27,5 juta tahun.

Detak jantung ini ditandai dengan letusan gunung berapi, kepunahan massal, dan perubahan permukaan laut.

Pakar geologi dari New York University dan penulis utama studi, Michael Rampino mengatakan, banyak ahli percaya peristiwa ini terjadi secara acak dari waktu ke waktu.

"Tetapi penelitian kami memberikan bukti statistik untuk siklus umum, menunjukkan bahwa peristiwa geologi ini berkorelasi dan tidak acak," ujarnya, dikutip dari The Sun, Jumat (10/11/2023).

Bumi berdetak setiap 27 juta tahun

Dengan menggunakan teknik penanggalan radioisotop, para ilmuwan dapat memperoleh wawasan tentang skala waktu geologi Bumi.

Secara khusus, dalam penelitian pada 2021 ini, Rampino dan rekan-rekannya menganalisis 89 peristiwa geologi besar selama 260 juta tahun terakhir.

Peristiwa itu meliputi kepunahan laut dan darat, letusan gunung berapi, serta peristiwa saat lautan kehabisan oksigen.

Setelah menganalisis, para pakar menemukan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut umumnya berkumpul pada 10 titik waktu berbeda selama 260 juta tahun.

Namun, yang paling menonjol, peristiwa ini terjadi dalam rentang waktu sekitar 27,5 juta tahun sekali.

Untungnya, sekumpulan peristiwa geologi besar ini baru terjadi sekitar 7 juta tahun lalu. Artinya, guncangan Bumi selanjutnya diperkirakan baru akan berlangsung pada 20 juta tahun mendatang.

Meski belum diketahui pasti, peneliti percaya denyutan Bumi mungkin merupakan fungsi dari lempeng tektonik atau bagian dari siklus astronomi.

Lempeng tektonik adalah proses saat kerak Bumi terus bergerak dan berubah. Sedangkan, siklus astronomi meliputi pola teratur gerak Bumi dan planet lain yang ada di tata surya.

"Apa pun asal-usul siklus ini, temuan kami mendukung catatan geologis yang sebagian besar bersifat periodik, terkoordinasi, dan kadang-kadang menimbulkan bencana, yang menyimpang dari pandangan banyak ahli geologi," jelas Rampino.

Dilansir dari laman Science Alert, Jumat, ahli geologi telah menyelidiki potensi siklus geologi sejak lama.

Misalnya, pada 1920-an dan 1930-an, para ilmuwan pada masa itu berpendapat, peristiwa geologi besar mempunyai siklus 30 juta tahun.

Sementara pada 1980-an dan 1990-an, para peneliti menggunakan peristiwa-peristiwa geologi dengan tanggal terbaik pada saat itu untuk memberi mereka rentang waktu.

Sebagai contoh, mereka menandai "denyutan" Bumi dalam siklus selama 26,2 juta hingga 30,6 juta tahun.

Kini, siklus 27,5 juta tahun sekali tampaknya menjadi waktu yang tepat untuk memperkirakan detak jantung Bumi.

Sebuah penelitian pada akhir 2020 oleh penulis yang sama menunjukkan, periode 27,5 juta tahun ini juga merupakan saat terjadinya kepunahan massal.

Namun demikian, ahli geologi tektonik dari University of Adelaide, Australia, Alan Collins mengaku, penelitian oleh Muller dan Dutkiewicz pada 2018 menggambarkan peristiwa ini lebih baik.

Penelitian pada 2018 dari dua peneliti University of Sydney, Australia itu mengamati siklus karbon Bumi dan lempeng tektonik.

Adapun kesimpulannya, siklus tersebut berlangsung sekitar 26 juta tahun sekali.

Collins menjelaskan, penelitian terbaru oleh Rampino dan rekannya ini mengamati banyak peristiwa bersifat sebab akibat.

Artinya, satu peristiwa secara langsung menyebabkan peristiwa lainnya, sehingga beberapa dari 89 peristiwa tersebut saling berkaitan.

"Meski begitu, siklus 26-30 juta tahun ini tampaknya nyata dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Juga tidak jelas apa penyebab mendasarnya," ujarnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/11/16/121500465/jantung-bumi-berdetak-setiap-27-juta-tahun-sekali-dan-picu-kepunahan-massal

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke