Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Arti Malam Satu Suro, Makna, dan Tradisinya...

KOMPAS.com - Malam satu Suro merupakan hari pertama dalam kalender Jawa pada bulan Sura atau Suro.

Malam satu Suro bertepatan dengan tanggal 1 Muharam dalam kalender Hijriah. Pada 2023, malam satu Suro jatuh pada Selasa (18/7/2023).

Malam satu Suro kerap dirayakan dengan berbagai tradisi. Di Solo misalnya, malam satu Suro dirayakan dengan kirab pusaka yang digelar oleh Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Bagi masyarakat Jawa, malam satu Suro dianggap sebagai malam yang sakral.

Lantas, apa itu malam satu Suro?

Pengertian malam satu Suro

Malam satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa.

Malam satu Suro ini bertepatan dengan bulan pertama dalam kalender Hijriah, yakni Muharam.

Oleh sebab itu, perayaan malam satu Suro kerap jatuh bertepatan dengan Tahun Baru Islam atau 1 Muharam.

Dilansir dari Tradisi Malam Satu Suro dan Pengaruhnya Tehadap Kehidupan Sosial Keagamaan masyarakat (2022), istilah Suro berkembang di masyarakat Jawa. Mereka menyebut bulan Muharam dengan nama Sura.

Istilah Suro berasal dari bahasa arab Asyura, yang berarti sepuluh.

Pada lidah orang Jawa, istilah itu dilafalkan menjadi Suro. Bahkan ada beberapa daerah yang menyebutkan sebagai Suran.

Suran adalah peringatan malam satu Sura yang dilaksanakan pada malam pertama bulan Suro.

Istilah itu kemudian dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan dalam takwim jawa.

Malam satu Suro umumnya diperingati pada malam hari setelah Maghrib di hari sebelum tanggal 1 Sura atau 1 Muharam.

Hal ini lantaran adanya kepercayaan Jawa yang mengatakan bahwa pergantian hari dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelunya.

Pada 2023 misalnya, 1 Suro atau 1 Muharam jatuh pada 19 Juli 2023. Dengan begitu malam satu Suro jatuh pada 18 Juli 2023 setelah Maghrib.

Sejarah malam satu Suro berawal dari Sultan Agung yang menyebut Muharam dengan bulan Sura.

Dilansir dari buku Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, tahun Hijriah dipakai sebagai sistem penanggalan Muslim Jawa, yang juga ditetapkan oleh Sultan Agung pada abad ke-17.

Sistem penanggalan itu disebut penanggalan aboge.

Dalam praktiknya, sistem penanggalan itu terkadang berjarak 1 hari lebih lama.

Hanya saja, angka tahunnya memakai angka tahun Jawa yang lebih muda 78 tahun daripada tahun Masehi.

Tahunnya tetap menggunakan tahun Saka, namun perhitungan harinya diubah menjadi sistem tarikh qmariyah.

Ini merupakan ijtihad penting yang dilakukan Sultan Agung dan menjadi simbol asimilasi budaya Islam dan budaya Jawa.

Malam satu Suro disebut sakral

Malam satu Suro juga dipercaya sebagai malam yang sakral.

Dilansir dari Kontan, malam satu Suro dimulai ketika Sultan Agung menginginkan rakyatnya bersatu untuk menggempur Belanda di Batavia.

Untuk menghindari perpecahan, Sultan Agung menyatukan kelompok santri dengan abangan.

Mereka menggelar pengajian bersama dengan penghulu kabupaten dan melapor ke pemerintahan setempat setiap Jumat legi.

Tak hanya itu, mereka juga melakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri.

Akibatnya, 1 Sura atau 1 Muharam dikeramatkan. Mereka yang melakukan kegiatan lain selain mengaji, ziarah, dan haul dianggap akan sial.

Sedangkan untuk sebagian masyarakat, malam satu Suro dilarang berpergian kecuali untuk berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Pada malam 1 Suro misalnya orang beramai-ramai mengunjungi tempat-tempat yang dianggap sakral dan keramat.

Malam satu Sura kerap diperingati dengan perayaan dan tradisi.

Pengamat Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof Bani Sudardi mengatakan, perayaan malam satu Suro dimaknai sebagai peringatan pergantian waktu.

"Makna dari peringatan satu Suro ini adalah sebuah peringatan tentang pergantian waktu yang mana hal ini adalah sesuatu yang lazim dalam kebudayaan,” ucapnya, dilansir dari Kompas.com, Jumat (29/7/2022).

Menurutnya, waktu merupakan sesuatu yang sangat penting dan berkaitan dengan siklus kehidupan, ritual, perhitungan-perhitungan, dan sebagainya.

Tradisi malam satu Suro

Tradisi malam satu Suro cukup beragam di tengah kemajemukan budaya di Indonesia.

Di Solo misalnya, malam satu Suro diperingati dengan tradisi kirab, baik kirab pusaka dan kirab malam 1 Sura.

Kirab malam 1 Sura bertujuan untuk meminta keselamatan dan sebagai sarana introspeksi agar menjadi lebih baik dari tahun sebelumnya.

Dilansir dari laman Pemerintahan Kota Surakarta, kirab malam 1 Sura identik dengan kebo bule sebagai sarana kirab.

Kebo bule yang digunakan harus berasal dari keturunan kebo bule Kiai Slamet. Hewan ini adalah kesayangan Paku Buwono II, sejak beliau masih berkuasa di Keraton Kartasura.

Kebo bule merupakan hadiah dari Kiai Hasan Beshari Tegalsari Ponorogo kepada Paku Buwono II.

Mulanya, digunakan sebagai pengawal pusaka (cucuk lampah) bernama Kiai Slamet, saat beliau pulang dari Pondok Tegalsari ketika terjadi pemberontakan pecinan yang membakar Istana Kartasura.

Hingga saat ini, ritual tersebut masih dilaksanakan pada malam satu Suro, tepat pukul 00.00 WIB.

Selain Solo, Keraton Yogyakarta juga memiliki ritual malam satu Suro.

Bedanya, kirab malam satu Suro di Keraton Yogyakarta membawa gunungan tumpeng, keris, dan benda pusaka lain.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/07/12/160000665/arti-malam-satu-suro-makna-dan-tradisinya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke