Mulai dari penerobosan Security & Privacy, pertanyaan besar mengenai bagaimana sebenarnya ChatGPT di-training sehingga ChatGPT secara mendasar tidak explainable (tidak bisa dijelaskan), jawaban-jawaban salah dengan dampak besar hingga berpotensi catastrophic yang degenerate oleh ChatGPT.
Kemudian, karakter bias gender dan berbagai bias lain, kekhawatiran ChatGPT mengambil alih lapangan kerja, tantangan ChatGPT terhadap pendidikan.
Selain itu, sudah ada kelompok yang berhasil men-jailbreak ChatGPT sehingga bisa digunakan untuk hal-hal yang merusak, dan the last but not least, misalnya, ChatGPT dan industri yang menguasainya menyedot kekuatan yang terlalu besar dan semakin besar sehingga berpotensi menciptakan blackhole kekuatan dalam kehidupan manusia di bumi ini.
Salah satu dampak negatif serius yang dalam skala mikro di suatu perusahaan perlu diperhitungkan adalah kemungkinan munculnya berbagai tuntutan hukum yang bisa muncul karena ketidakakuratan yang menjadi karakteristik dasar ChatGPT.
Mengutip BBC.com, seorang wali kota Australia memulai proses hukum dan mengatakan dia dapat mengambil tindakan hukum atas informasi palsu yang dibagikan oleh chatbot canggih ChatGPT.
Brian Hood, Wali Kota Hepburn Shire Council, mengatakan, alat milik OpenAI itu secara keliru mengklaim dia dipenjara karena penyuapan saat bekerja untuk anak perusahaan bank nasional Australia.
Sebagai akademisi yang bergerak dalam bidang konsultan TIK khususnya bagi industri keuangan dan perbankan Indonesia selama belasan tahun ini, penulis tertarik menelah hal-hal berikut: peluang, risiko, dan tantangan dari ChatGPT khususnya dan kecerdasan buatan (AI/Artificial Intellegence) secara umum bagi industri perbankan-keuangan di Indonesia.
Peluang ChatGPT di Industri Perbankan
Kita awali dengan peluang bisnisnya sebanyak empat poin. Pertama, telah dan terus hadirnya chatbot customer service yang lebih baik segalanya dari layanan sejenis sebelumnya terutama dalam menjawab pertanyaan konsumen yang berulang.
Model ChatGPT dapat diintegrasikan ke dalam chat interface di aplikasi atau laman, serta dapat dilatih pada dataset yang memuat interaksi customer service untuk meningkatkan pemahamannya terhadap pertanyaan tertentu.
Benefitnya selain bisa hadir setiap detik (24/7 availability), juga memiliki kekuatan dalam otomisasi, konsistensi, skalabilitas, konklusi, hingga translansi.
Kedua, bisa menghadirkan advisor keuangan personal. Mirip dengan robo-advisor, ChatGPT dapat memberikan saran keuangan secara khusus serta melakukan real-time data analysis dalam menyediakan insight yang mutakhir.
Hal ini, misalnya, dalam mengatur budget planning & management (membuat dan mengelola anggaran berdasarkan target keuangan dan pengeluaran), investment (menyediakan rekomendasi berdasarkan tingkat risiko, target keuangan, dan dan portofolio terkini), retirement planning (menyediakan informasi berbagai pilihan simpanan dana pensiun), hingga tax planning (menyediakan informasi perpajakan dengan cara yang lebih mudah dipahami).
Ketiga, menjadi detektor fraud. ChatGPT dapat digunakan mendeteksi dan mencegah penipuan, karena dilatih untuk menganalisis transaksi keuangan dan mengidentifikasi perilaku yang mencurigakan.
Contoh, adanya peningkatan jumlah transaksi secara tiba-tiba yang dilakukan oleh nasabah.
Dalam hal ini, ChatGPT memanfaatkan machine learning, NLP (neuro language process), analitik data, dan kecerdasan buatan agar dapat memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar.
Dengan mengumpulkan dataset terkait penipuan dan memuatnya ke dalam chatbot, ChatGPT dapat mengubahnya menjadi model yang dibutuhkan.
Keempat, credit scoring, yakni dapat digunakan mengembangkan model penilaian kredit yang lebih akurat dengan menganalisis berbagai data (termasuk data tidak terstruktur atau data publik) seperti riwayat keuangan, riwayat pekerjaan, dan aktivitas media sosial.
Adapun berbagai analisis data yang dapat dilakukannya adalah analisis data kredit (riwayat pembayaran kredit sebelumnya, rasio hutang terhadap pendapatan, dsb), analisis data keuangan (laporan keuangan, data-data terkait keuangan lainnya), dan analisis data pribadi (pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dsb).
Risiko ChatGPT pada Industri Perbankan
Untuk risiko, ini konteksnya penggunaan ChatGPT dalam layanan chatbot untuk customer service di Indonesia, dengan tiga pointer.
Pertama, merujuk data fakta komplain yang penulis temukan di Internet, chatbot di Indonesia masih butuh "belajar" untuk memahami perbendaharaan bahasa. Sebab, banyak chatbot yang masih terkesan kaku dan butuh banyak "latihan."
Ada kalanya keluhan ditulis dengan menggebu dan emosi sehingga kalimat tidak lengkap dan tidak runtut. Karena itu, pemahaman bahasa dan database solusi yang disediakan menjadi kendala terbesar untuk chatbot.
Selain itu, dalam beberapa kasus banyak chatbot yang tidak bisa mengenali kalimat yang dimaksud.
Hal ini terjadi karena kalimat tidak menggunakan bahasa/kata yang terdaftar dari sistem atau perbendaharaan kata di sistem tidak lengkap. Karenanya, tidak semua pengguna puas dengan jawaban template atau informasi umum.
Bisa jadi pengguna tersebut menunggu mengapa ada gangguan di akun mereka atau mengapa transaksi tak kunjung rampung.
Bisa pula dikarenakan banyak chatbot yang tidak bisa mengenali kalimat dimaksud karena kalimat tidak menggunakan bahasa/kata yang terdaftar dari sistem atau perbendaharaan kata di sistem tidak lengkap.
So, untuk customer service berbasis AI, chatbot harus bekerja "lebih keras dan ramah.“
Kedua, chatbot yang berakar sama dengan ChatGPT, yakni dari kecerdasan buatan, ternyata menciptakan banyak pelanggan kecewa karena dianggap tidak menyelesaikan masalah yang diajukan.
Dilansir riset "Forrester Consulting Study on behalf of Cyara" terhadap 1.554 konsumen global, 74 persen konsumen menilai chatbot tidak mampu menangani pertanyaan yang kompleks.
Kemudian, 50 persen konsumen sering dibuat frustrasi dengan pengalaman mereka menggunakan Chatbots, sehingga 71 persen penguna akan mencari cara lain agar terhubung dengan agen setelah pengalaman kurang baik dengan chatbot.
Selain itu, 63 persen menyatakan interaksi mereka dengan chatbot tidak menghasilkan penyelesaian masalah. Sementara 72 persen pengguna merasa chatbot untuk customer service ini hanyalah buang-buang waktu.
Penelitian "Executive Insights Report Self-Service, Self-Sabotage-The Critical State of Automation in Customer Experience" per Juli 2022 menambahkan, penggunaan chatbot bahkan meningkatkan level frustasi bagi 80 persen pengguna!
Sebanyak 78 persen konsumen terpaksa terhubung dengan manusia setelah gagal menyelesaikan kebutuhan/masalah mereka melalui chatbot.
Akhirnya, 54 persen konsumen percaya bahwa melakukan panggilan telepon dengan agen langsung memberikan penyelesaian tercepat dan pengalaman pelanggan terbaik secara keseluruhan.
Dan itu juga, mengapa banyak chatbot di posisi customer service di Indonesia yang masih sering didampingi agen pelayanan pengguna demi tetap memberikan sentuhan manusia.
Apabila merujuk sisi peluang dan risiko tersebut, maka ChatGPT lebih berpeluang untuk sukses berat ketika digunakan industri perbankan tanah air menggantikan layanan customer service eksisting yang umumnya berbasis NLP.
Sekarang, dengan adanya ChatGPT, kemampuan berbahasa manusia dengan sangat alami yang ada pada ChatGPT bisa jadi menjadi sihir baru yang lebih menghipnotis pelanggan industri keuangan Indonesia.
Pun demikian, secara bersamaan, pada saat yang sama masalah-masalah pelanggan bisa jadi kurang terpecahkan dengan baik jika kita tidak kelola utuh sedari awal. Bagaimanakah caranya?
Bersambung, baca artikel selanjutnya: ChatGPT pada Sektor Perbankan Indonesia (Bagian II - Habis)
https://www.kompas.com/tren/read/2023/06/13/143807065/chatgpt-pada-sektor-perbankan-indonesia-bagian-i