Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah WNI di Jepang Sekolahkan Anak ke TK yang Jumlah Muridnya Hanya 2 Orang

KOMPAS.com - Sepasang suami-istri (pasutri) yang merupakan WNI di Jepang menyekolahkan anaknya ke TK yang jumlah muridnya hanya 2 orang.

Kisah tersebut viral di media sosial yang salah satunya diunggah oleh akun ini yang mengunggah ulang video asli milik akun @omen_said.

"Salah satu TK di Jepang 2023 ini hanya ada 2 murid," tulis pengunggah.

"Ini adalah cerita dari salah satu keluarga kecil orang Indonesia," tambahnya.

Isi video

Pengunggah mengatakan, TK yang jumlah muridnya hanya 2 anak itu berada jauh dari tempat tinggal WNI tersebut.

WNI itu tidak menyekolahkan anaknya di TK lain lantaran sekolah untuk anak usia dini di sekitar tempat tinggalnya sudah tutup karena ketiadaan murid.

Pada penerimaan murid baru 2023, TK yang menerima anak WNI tersebut hanya memiliki 2 murid. Jumlah ini sudah termasuk anak WNI.

"Upacara penyambutan Muridpun tetap dilaksanakan walaupun hanya ada 2 Murid," jelas pengunggah.

"Dengan Tenaga pengajar yang berkualitas & sekolah yang bagis ini rasanya sangat disayangkan," tambahnya.

Lantas, bagaimana cerita sebenarnya, dan benarkah memang hanya ada 2 murid di sekolahan tersebut?

Kompas.com menghubungi Omen Said selaku pemilik akun @omen_said yang awalnya mengunggah kisah anak WNI di Jepang bersekolah di TK dengan jumlah murid hanya 2 anak tersebut.

Omen adalah WNI yang tinggal di Prefektur Ishikawa, Jepang dan bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik. Ia sudah tinggal di Jepang selama 5 tahun.

Ia mengatakan bahwa kisah tersebut ia terima langsung dari wanita berinisial M yang sudah bersuami dan memiliki anak.

M bersama keluarganya tinggal di Jepang sejak 2021 di Kota Tsu, Prefektur Mie, Jepang.

"Ketemu WNI tersebut, ibu, anak, dan suaminya tinggal 2 tahun di Jepang," kata Omen, Kamis (4/5/2023).

Kendala sekolahkan anak di TK Jepang

Lebih lanjut, Omen mengatakan bahwa anak M mulai bersekolah di TK yang jumlah muridnya hanya 2 anak tersebut pada April 2023.

Hal tersebut bertepatan dengan penerimaan murid baru di Jepang yang biasanya digelar pada Maret, April, atau Mei.

Omen menyampaikan, di dekat tempat tinggal M sebenarnya terdapat TK untuk pendidikan anak usia dini. Namun, TK tersebut sudah tutup karena tidak ada kegiatan belajar-mengajar sehingga M harus mencari sekolah lain.

M akhirnya mencari TK lain dan menemukan sekolah yang berjarak 30-40 menit menggunakan sepeda dari tempat tinggalnya.

"Dan di situ pun pendaftaran hanya ada 1 murid orang Jepang. Dan satu murid lagi, yang kedua anaknya ibu M," jelas Omen.

Omen juga mengungapkan bahwa M mengalami kendala ketika anaknya yang masih belia bersekolah di Jepang.

Salah satu kendala yang ia hadapi adalah keterbatasan bahasa. Anak M juga belum mampu memahami bahasa Jepang dengan baik.

Omen juga mengatakan, jumlah guru yang mengajar di TK tersebut hanya 7 orang.

Kendati demikian, mereka menjalankan kegiatan belajar-mengajar secara profesional dan pembelajaran juga berlangsung intens.

Hingga saat ini, anak WNI tersebut masih bersekolah dan akan menjalani masa pendidikan selama 1 tahun.

"Udah kaya les private. Jadi sekolah profesional aja. Belajar mengajar tetep sama standarnya," jelas Omen.

"Enggak ada masalah (kegiatan belajar mengajar) sama sekali," sambungnya.

Penyebab populasi Jepang turun

Lebih lanjut, Omen juga membeberkan faktor yang menyebabkan populasi di Jepang turun sehingga banyak sekolah tutup atau hanya memiliki sedikit murid.

Ia mengatakan, faktor mahalnya biaya hidup membuat orang Jepang, terutama wanita, enggan menikah dan memiliki anak.

Temuan tersebut didapat Omen selama 5 tahun tinggal di Jepang dan berinteraksi dengan masyarakat setempat.

"Pajak dan harga kebutuhan pokok dan lain-lain 40 tahun terakhir ini. Baru tahun ini yang paling tinggi dan listrik juga," ungkapnya.

Omen menyampaikan bahwa wanita Jepang memutuskan untuk tidak menikah karena mereka enggan memiliki tambahan tanggungan hidup.

Sebab, wanita di Jepang harus mengurus suami dan anak setelah mereka menikah sehingga biaya hidup semakin bertambah.

Mereka juga kesulitan menjadi wanita karier, sementara menggantungkan hidup dari penghasilan suami saja tidak cukup.

"Misal kalau mau nikah mikirnya panjang lagi, ngurus anak," ujar Omen.

Ia menggambarkan, orang Jepang dapat mengeluarkan uang sebesar Rp 2,5-5 juta setiap bulan untuk biaya tempat tinggal.

Biaya tersebut masih ditambah listrik, air, paket data untuk internet, wifi, dan kebutuhan makan sehari-hari.

Omen menjelaskan, harga paket data untuk internet sebesar 50 GB di Jepang dapat mencapai Rp 500.000.

Sementara untuk kebutuhan makan sehari-hari, berdasarkan pengalaman sehari-hari dibutuhkan anggaran sebesar Rp 3-5 juta per bulan.

"Itu orang Jepang sudah mikir sejauh itu (biaya hidup mahal). Untuk dirinya sendiri itu enggak cukup," pungkasnya.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/05/04/190000565/kisah-wni-di-jepang-sekolahkan-anak-ke-tk-yang-jumlah-muridnya-hanya-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke