Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Agar Demokrasi Tidak Mati Melalui Proses Pemilu

Berbagai kajian politik menyatakan, fenomena itu merupakan rangkaian cara untuk mengamankan kepentingan pragmatis elite oligarkis pada pesta demokrasi 2024. Tahun 2023 ini lalu dipandang sebagai tahun pertaruhan serta eksekusi dari skenario oligarki untuk membunuh demokrasi lewat agenda pemilu yang akan berlangsung tahun depan.

Catatan buruk terkait perkembangan demokrasi dan hukum sepanjang 2022, antara lain,  pertama, wacana perpanjangan masa jabatan presiden yang disuarakan elite partai politik, pejabat pemerintahan, bahkan pimpinan lembaga negara. Narasi itu seharusnya tidak dimunculkan karena tidak sejalan dengan semangat reformasi dan prinsip konstitusionalisme dalam UUD 1945 yang berfondasi pembatasan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan merupakan unsur utama negara demokrasi konstitusional.

Kedua, persoalan independensi penyelenggara pemilu yang tidak terjaga dan sarat kepentingan politik. Persoalan itu diawali pembentukan tim seleksi calon anggota KPU-Bawaslu yang dipimpin mantan anggota tim sukses Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 sehingga dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Penyelenggara pemilu yang terbentuk dari ‘rahim’ yang sarat akan akomodasi kepentingan parpol, pada akhirnya menunjukkan praktik yang jauh dari prinsip jujur dan adil. Hal itu akan memunculkan dugaan kecurangan dan manipulasi proses verifikasi parpol untuk menjadi peserta pemilu.

Lebih memprihatinkan, sikap pasif Bawaslu dalam melakukan pengawasan. Temuan pelanggaran justeru ditemukan koalisi masyarakat sipil, bukan Bawaslu sebagai lembaga berwenang. Bawaslu bahkan terkesan ‘menunggu bola’ atau tidak proaktif terhadap laporan dan tindak lanjutnya.

Ketiga, takluknya lembaga pengawal demokrasi, yaitu Mahkamah Konstitusi. Hal itu ditandai dengan pemberhentian Hakim Konstitusi, Aswanto, secara politik oleh DPR.

Intervensi politik terhadap lembaga kehakiman pasti akan berdampak sistemik pada peran strategis MK yang berwenang memutus hasil pemilu dan politik hukumnya untuk menegakan prinsip pemilu yang demokratis, yakni langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai amanat konstitusi.

Sejumlah gejala otokrasi tersebut persis sama dengan fenomena pudarnya tatanan demokrasi di beberapa negara, seperti yang diuraikan Levitsky dan Ziblatt (2018) dalam buku "How Democracies Die: What History Reveals About Our Future". 

Dalam buku tersebut Levitsky dan Ziblatt menganalogikan cara pemimpin otoriter menumbangkan demokrasi. Negara demokrasi diibaratkan seperti pertandingan sepak bola, di mana pemimpin otoriter berperan layaknya mafia sepak bola yang bermain di belakang layar untuk menentukan hasil pertandingan sesuai kepentingannya.

Peran tersebut dilakukan dengan cara menguasai seluruh perangkat pertandingan seperti wasit, penyelenggara liga, bahkan mengatur aturan main sesuai kehendaknya. Pada negara dan pemilu, gambaran praktik otokrasi dilakukan dengan mengkerdilkan legitimasi lembaga legislatif, yudikatif, kepolisian, militer, serta mengendalikan penyelenggara pemilu.

Dalam konteks Indonesia, praktik itu terjadi dalam beberapa kurun waktu terakhir. Dapat dilihat potret lemahnya kekuatan oposisi di parlemen, intervensi politik terhadap MK, sikap represif Polri terkait pelaksanaan program pemerintah, masuknya militer dalam birokrasi, dan praktik penyelenggara pemilu yang sarat kepentingan politik parpol.

Harapan Pemilihan Umum Demorkratis

Masih merujuk pada Levitsky dan Ziblatt, matinya demokrasi seperti yang terjadi di Turki, Venezuela, Hungaria, dan Rusia tidak dilakukan dengan cara inkonstitusional atau melalui proses kudeta militer.

Akan tetapi, demokrasi dibunuh melalui proses demokrasi, yakni pemilihan umum. Sebab, pemilu yang dilaksakanan di bawah kendali otokrasi dan oligarki belum tentu demokratis.

Pada realitas seperti ini, pemimpim otoriter bisa melenggang dengan mudah ikut berkompetisi dalam pemilu karena tidak berfungsinya peran partai politik sebagai ‘penjaga gawang demokrasi’ untuk melakukan seleksi yang obyektif. Proses pemilu yang diselenggarakan penyelenggara sarat dengan campur tangan partai politik.

Selain itu, untuk memberikan legitimasi hukum atas hasil pemilu, lembaga yudikatif hanya berperankan secara formalitas dengan berbagai dalil positivistik untuk memenangkan pemimpin otoriter. Sebab, independensinya telah dibajak otokrasi.

Sebagai sarana kedaulatan rakyat sekaligus tolak ukur demokrasi (Miriam Budiardjo:2008), pemilu dikehendaki oleh konstitusi untuk dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Penyelenggaraannya dilakukan oleh suatu komisi pemilihan umum (penyelenggara pemilu) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Dengan rule of the games seperti itu maka akan terselenggara pemilihan umum yang demokratis sebagaimana standar yang ditetapkan dalam konstitusi maupun piagam dan konvensi internasional. Dalam bingkai pemilu yang demokratis, asas jujur dan adil berfungsi untuk menjaga agar asas-asas lainnya diterapkan dalam kerangka kejujuran dan keadilan, sehingga tidak ada toleransi pemilu yang langsung, umum, bebas,dan rahasia itu dilaksanakan secara tidak jujur dan tidak adil.

Kedua asas tersebut melekat erat pada penyelenggara pemilu, untuk bersikap jujur pada semua dimensi penyelenggaraan pemilu dan adil terhadap setiap pemilih dan peserta pemilu dengan memberikan perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan.

Pada hilir penyelenggaraan pemilu, peradilan - dalam hal ini MK- berperan tidak hanya menyelesaikan sengketa hasil, tetapi lebih mendasar daripada itu adalah memastikan terlaksananya prinsip-prinsip pemilu, terhindar dari upaya penyalahgunaan dan pelanggaran sistem pemilihan (Eric Barend:1998).

Sejalan dengan itu, Robert Carp, Kenneth Manning, dan R Stidham Peran (2004) menyatakan bahwa peradilan memiliki peran yang signifikan dalam membenahi sistem politik karena kemampuannya melindungi demokrasi. Karena itu dapat dikatakan peradilan merupakan unsur strategis untuk menjaga kemurnian suara rakyat hasil pemilu.

Maka dari itu, penyelenggara dan peradilan merupakan dua unsur yang esensial untuk menjalankan dan menegakan sistem keadilan pemilu (electoral justice) demi mencegah lahirnya pemimpin yang otoriter lewat proses pemilu.

Selain itu, pilar yang tidak kalah penting untuk menjaga kehidupan demokrasi dari kuasa otokrasi adalah partai politik yang memiliki kapasitas serta tanggung jawab moral untuk menerapkan sistem seleksi agar dapat menyaring dan tidak meloloskan calon yang memiliki potensi otoriter dan demagog terhadap demokrasi.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/01/11/105346565/agar-demokrasi-tidak-mati-melalui-proses-pemilu

Terkini Lainnya

Sepak Terjang Benny Sinomba Siregar, Paman Bobby Nasution yang Ditunjuk Jadi Plh Sekda Kota Medan

Sepak Terjang Benny Sinomba Siregar, Paman Bobby Nasution yang Ditunjuk Jadi Plh Sekda Kota Medan

Tren
Jadwal dan Live Streaming Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23, Kick Off 21.00 WIB

Jadwal dan Live Streaming Indonesia Vs Uzbekistan di Semifinal Piala Asia U23, Kick Off 21.00 WIB

Tren
Siapa Kandidat Terkuat Pengganti Rafael Struick di Laga Indonesia Vs Uzbekistan?

Siapa Kandidat Terkuat Pengganti Rafael Struick di Laga Indonesia Vs Uzbekistan?

Tren
Mengapa Bisa Mengigau Saat Tidur? Ternyata Ini Penyebabnya

Mengapa Bisa Mengigau Saat Tidur? Ternyata Ini Penyebabnya

Tren
Tanggal 1 Mei Hari Libur Apa?

Tanggal 1 Mei Hari Libur Apa?

Tren
Sempat Diteriaki Warga tapi Tak Menggubris, Kakek Berusia 61 Tahun Tertabrak KA di Sragen

Sempat Diteriaki Warga tapi Tak Menggubris, Kakek Berusia 61 Tahun Tertabrak KA di Sragen

Tren
Perpanjang Pajak STNK Harus Bawa KTP Asli Pemilik Kendaraan, Bagaimana jika Sudah Meninggal?

Perpanjang Pajak STNK Harus Bawa KTP Asli Pemilik Kendaraan, Bagaimana jika Sudah Meninggal?

Tren
Air Kelapa Muda Vs Air Kelapa Tua Sehat Mana? Ini Beda dan Manfaatnya

Air Kelapa Muda Vs Air Kelapa Tua Sehat Mana? Ini Beda dan Manfaatnya

Tren
Tari Rangkuk Alu Jadi Google Doodle Hari Ini, Apa Alasannya?

Tari Rangkuk Alu Jadi Google Doodle Hari Ini, Apa Alasannya?

Tren
3 Artefak Langka Majapahit Ditemukan di AS, Nilainya Rp 6,5 Miliar

3 Artefak Langka Majapahit Ditemukan di AS, Nilainya Rp 6,5 Miliar

Tren
Penjelasan Kemenpora dan MNC Group soal Aturan Nobar Indonesia Vs Uzbekistan

Penjelasan Kemenpora dan MNC Group soal Aturan Nobar Indonesia Vs Uzbekistan

Tren
Ilmuwan Temukan Salah Satu Bintang Tertua di Alam Semesta, Terletak di Galaksi Tetangga

Ilmuwan Temukan Salah Satu Bintang Tertua di Alam Semesta, Terletak di Galaksi Tetangga

Tren
Korsel Akan Beri Insentif Rp 1 Miliar untuk Bayi yang Baru Lahir, Apa Alasannya?

Korsel Akan Beri Insentif Rp 1 Miliar untuk Bayi yang Baru Lahir, Apa Alasannya?

Tren
5 Air Rebusan untuk Atasi Jerawat, Salah Satunya Jahe dan Kunyit

5 Air Rebusan untuk Atasi Jerawat, Salah Satunya Jahe dan Kunyit

Tren
[POPULER TREN] Dampak La Nina bagi Indonesia | Beberapa Makanan Mengandung MIkroplastik

[POPULER TREN] Dampak La Nina bagi Indonesia | Beberapa Makanan Mengandung MIkroplastik

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke