Indonesia bukanlah satu-satunya negara yang bisa mengeklaim kebaya berasal dari negeri ini, karena kebaya identik dengan negara-negara di Asia Tenggara, terlebih di Semenanjung Malaya dan Indonesia.
Sepertinya, ada oknum-oknum yang salah mengartikan pengarusutamaan kebaya tersebut. Mereka malah menjadikan kebaya sebagai ikon ketidakbermoralan pemakainya. Viralnya “kebaya merah” menjadi corengan tersendiri bagi Indonesia yang notabene menjadikan kebaya sebagai salah satu pakaian daerahnya.
Selain itu, masih banyak pihak yang akan dirugikan dengan mencuatnya pakaian daerah tersebut sebagai ikon tak senonoh.
Kali ini, kebaya merah dilekatkan dengan peristiwa mesum yang dilakukan pasangan AH dan ACS di Surabaya, Jawa Timur. Mereka menjadikan kebaya merah sebagai tema video sesuai pesanan pembeli, yakni bertema karyawan hotel.
Sejak kehadiran video tersebut, orang-orang akan memiliki interpretasi masing-masing terhadap karyawati hotel yang berkebaya, terlebih berkebaya merah. Secara tidak langsung, otak mereka merespons dan terkoneksi dengan si pemeran video asusila tersebut.
Dalam kajian bahasa, fenomena tersebut dapat didekati dengan kajian semiologi Sasussure (1916), yakni signifie/signified/petanda/yang ditandai dan signifiant/signifier/penanda/yang menandai.
Ogden dan Richard, melalui segitiganya semakin mempertegas dua unsur tersebut. Mereka menambahkan satu unsur, yakni reference atau gagasan yang ada di dalam pikiran.
Untuk memudahkan pemahaman pembaca, kita dapat mengambil contoh penerapan segitiga Ogden dan Richard tersebut menggunakan leksem belut. Leksem belut merupakan penanda, acuan atau petandanya hewan belut, dan gagasan atau konsep yang diacu ialah ‘ikan yang bentuknya panjang seperti ular, kulitnya licin, biasa hidup di lumpur’ (KBBI).
Berbantuan segitiga tersebut kita dapat mengotak-atik leksem penanda tersebut untuk mewakili konsep yang berbeda, dengan acuan yang berbeda pula. Misal, ada seseorang yang membuat pernyataan, “Saya tidak mau berurusan dengan dia karena dia itu belut.”
Leksem belut pada pernyataan tersebut tidak lagi dimaknai atau diberikan konsep yang sama dengan konsep yang ada di KBBI. Konsep atau gagasan untuk leksem dia pada kalimat tersebut diasosiasikan dengan leksem belut, yakni licin.
Barangkali si dia termasuk jenis manusia yang susah untuk dicari atau dipegang “omongannya” alias susah menepati janji. Setiap ada manusia yang berperilaku sama dengan si dia, orang-orang dengan serta merta mengamini untuk memberikan penanda belut.
Berpontesi mencoreng citra kebaya
Bagaimana dengan kebaya merah? KBBI mendefinisikan kebaya sebagai ‘baju perempuan bagian atas, berlengan panjang, dipakai dengan kain panjang’. Begitu santunnya si pemakai kebaya, begitu pula harapan besar yang diletakkan di pundak mereka. Menutupi hal-hal yang perlu ditutupi, namun masih mencirikan identitas ke-Indonesia-an.
Menurut sejarah, leksem kebaya muncul pertama kali dalam buku History of Java (1817) Pengaruh Islam yang masuk ke Nusantara menyebabkan kemben, pakaian utama wanita permaisuri dan selir zaman kerajaan Majapahit (goodnewsfromindonesia.id) mengalami modifikasi (istilah penulis, red.) menjadi kebaya setelah ditambahi kain yang menutupi dada.
Selain itu, kebaya selalu dipasangkan dengan kain panjang. Tahun 1940-an, Presiden Soekarno menetapkan kebaya sebagai pakaian nasional dengan penambahan stagen, jarik, selendang, dan konde.
Leksem merah yang disandingkan dengan leksem kebaya menambah nuansa keberanian, cinta, seksualitas, dan gairah. Merah menyimbolkan kekuatan, kepercayaan diri dan kehangatan.
Orang-orang yang menggunakan atribut berwarna merah biasanya akan merasa lebih dominan, optimis, dan kompetitif. Sejatinya, kebaya merah akan memberikan konsep perempuan santun, hangat, percaya diri, dan optimis.
Sayang, si pemeran kebaya merah mengacaukan konsep itu semua. Ia menggunakan kedua unsur tersebut untuk sesuatu yang menyimpang. Kebaya yang ia pakai dimaksudkan untuk memancing fantasi keleokan perempuan-perempuan hotel, kemanjaan, kelemahlembutan yang dibalut warna merah untuk keagresifan membakar hasrat yang membara.
Selain itu, barangkali, si pemesan video memiliki kesamaan dengan banteng, sama-sama bereaksi dengan warna merah. Saat melihat warna merah, ia akan segera menyeruduk si kebaya merah.
Padahal, sudah banyak penelitian yang membantah hubungan banteng dengan segala hal yang berwarna merah. Banteng tidak bereaksi dengan warna merah karena ia menderita buta parsial (Kompas.com, 29/03/20).
https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/22/100245665/kebaya-merah