Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kritik dan Bersikap Kritis dalam Keseharian Kita

KRITIK tidak dapat dilepaskan dari kehidupan sehari-hari karena kita selalu berkenaan dengan kegiatan-kegiatan rasional seperti membaca, mencerna, menafsirkan, bahkan menjustifikasi sesuatu hal.

Contoh paling sederhana adalah ketika kita mengomentari bahkan “menertawakan” cuplikan iklan atau potongan film yang kita anggap terlalu berlebihan, secara disadari atau tidak kita sebenarnya sedang melakukan kritik terhadap ketidakmasukakalan yang disajikan.

Kritik juga subur dalam seni. Misalnya, ketika kita sedang menyaksikan suatu lawakan atau parodi, kegiatan ini menimbulkan efek lucu bagi penontonnya namun sebenarnya, menurut Jerry Palmer dalam bukunya Taking Humor Seriously (1994), di balik humor ada kritik sosial yang tajam karena kita menertawakan sesuatu hal yang tidak mampu kita capai.

Sikap kritis sangat diperlukan dalam konteks pertarungan politik, khususnya dalam menentukan politik kita.

Sebagai warga negara kita harus bersikap kritis dengan cara mengenali tokoh politiknya dengan baik dan mencermati kebijakan-kebijakan politik yang diwacanakan karena pilihan kita nantinya akan berkaitan dengan kehidupan kita baik secara personal maupun kolektif.

Begitu juga dalam berselancar di internet. Setiap hari kita dihujani dengan berbagai informasi di media sosial. Jika tidak cermat dan kritis dalam menyeleksi informasi, kita akan terjebak dalam kesesatan berpikir yang akan berpotensi menimbulkan hal-hal yang merugikan.

Tidak jarang konflik sosial yang terjadi di masyarakat terjadi akibat kesalahpahaman penafsiran informasi dari media sosial. Bahayanya hal ini akan menguatkan fenomena post-truth atau pascakebenaran yang berpotensi memecah belah-belah kehidupan sosial.

Selain itu, dalam keseharian kita juga dihadapkan dengan berbagai aturan dan regulasi yang dibuat oleh pihak yang berkuasa.

Sebagai individu kita memang wajib mematuhi hukum yang berlaku selama itu baik bagi kehidupan bersama. Namun, kita juga harus aktif dan bersikap kritis terhadap aturan yang dibuat karena bisa saja aturan yang dibuat hanya ditujukan menguntungkan pihak tertentu tapi merugikan pihak lain.

Dalam bahasa Michel Foucault, pengetahuan (power) dan kekuasaan (knowledge) sangatlah berkaitan erat. Bentuk dominasi modern termanifestasi dalam bentuk yang tidak ‘terlihat” terutama melalui wacana yang banyak menggunakan bahasa sebagai instrumennya.

Oleh karena itu, kemampuan berpikir kritis sangat kita perlukan, terutama kritis dalam mencermati berbagai wacana yang memanfaatkan permainan bahasa (language of game)

Apa Itu Berpikir Kritis?

“Kritis” dalam konteks “berpikir kritis” sering diartikan secara keliru sebagai kegiatan menyerang atau menjatuhkan seseorang.

Kesalahpahaman ini tidaklah tepat dan dapat berpotensi membatasi kebebasan berpendapat, terutama di era rezim otoriter.

Di era Orde Baru “sikap kritis” sering diidentikkan sebagai bentuk pembangkangan dan penolakan terhadap kebijakan pemerintah.  Kritik sering dianggap dapat membahayakan keberlangsungan kekuasaan.

Akibatnya, mereka yang gemar mengkritisi kebijakan pemerintah selalu berakhir di penjara. Hal ini tentunya sangat mencederai paham demokrasi yang dianut oleh negara kita.

Lalu apa itu berpikir kritis?

Defisini paling sederhana dari sikap atau berpikir kritis adalah kemampuan untuk memecahkan permasalahan, mempersoalkan atau mempertanyakan sesuatu hal.

Bapak tradisi berpikir kritis modern John Dewey (dalam Kasdin Sihotang, dkk, 2012) mengatakan bahwa berpikir kritis berarti mempertimbangkan suatu bentuk pengetahuan atau keyakinan yang diterima begitu saja (taken for granted) secara aktif, terus menerus, dan teliti dengan menyertakan alasan, mengedepankan fact-checking, dan mengambil kesimpulan yang logis.

Dalam bukunya yang berjudul Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, Richard W. Paul berargumen bahwa berpikir kritis berkenaan dengan proses disiplin-intelektual yang menuntut individu untuk terampil dan aktif dalam memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi informasi berdasarkan observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, dan komunikasi yang dilakukan.

Bagi Paul, kegiatan ini dapat dijadikan pedoman untuk meyakini sesuatu dan bertindak berdasarkan keyakinan tersebut.

Berdasarkan rujukan di atas, secara filosofis berpikir kritis bukanlah dimaksudkan untuk menyerang, mencari kesalahan, atau menjatuhkan orang lain, melainkan mengajukan argumen secara rasional untuk menghindari kesalahan berpikir dan melahirkan sebuah pandangan logis terhadap suatu hal.

Oleh karena itu, berpikir kritis tidaklah mudah karena kita dituntut untuk memiliki keterampilan intelektual dan komitmen untuk memahami dan memproses informasi yang kita terima dari sumber manapun.

Selain itu, kedewasaan berpikir dan kebijaksanaan sangat diperlukan dalam kegiatan ini karena tidak semua orang mudah menerima kritikan, khususnya bagi rezim yang berkuasa, sehingga dibutuhkan sikap besar hati untuk secara sportif menerima kritikan yang sebagai bentuk masukan positif untuk terus memperbaiki diri.

Melatih diri berpikir kritis

Sebagai sebuah keterampilan (skill), berpikir kritis membutuhkan pengetahuan, kemampuan berbahasa, kreativitas, dan komitmen intelektual selain itu berpikir kritis membutuhkan proses yang tidak singkat.

Berpikir kritis tidaklah mudah, namun bukan berarti tidak mungkin bisa dilakukan.

Mengembangkan cara berpikir kritis dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengenali suatu permasalahan serta menentukan cara atau strategi untuk mencari solusi atas suatu permasalahan.

Kemudian, kita juga dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas yaitu dengan cara mencari informasi yang relevan sebanyak-banyak untuk membongkar maksud dan tujuan di balik suatu gagasan tertentu.

Selain itu, kita juga harus memiliki keterampilan bahasa yang baik karena dalam mengkritisi suatu persoalan kita akan menuangkan kritikan kita dalam bahasa yang komprehensif, lugas, dan tidak bertele-tele.

Hal ini ditujukan supaya kritik tersampaikan dan dapat dimengerti dengan baik kepada yang dituju.

Budaya masyarakat

Maraknya fenomena post-truth, ujaran kebencian, hingga disinfomasi di era digital ini semakin menuntut kita untuk bersikap kritis terhadap segala hal.  Jika tidak, kita akan terjerumus dan “terjebak” secara emosional dalam konten pemberitaan yang kadang menyesatkan.

Lahirnya, UU 19/2016 perihal Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukum serta direncanakannya polisi virtual untuk mengontrol pelanggaran memang diperlukan.

Namun yang terpenting adalah kita harus menjadikan berpikir kritis sebagai budaya dalam kehidupan sehari-hari supaya masyarakat terbiasa mengindentifikasi dan menganalisis suatu permasalahan dengan mengandalkan logika, bukan emosi sehingga tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang bersifat negatif

Budaya berpikir kritis juga harus diperkuat, terutama di sektor pendidikan, untuk menciptakan sumber daya manusia yang terbiasa menggunakan rasionalitas dalam memecahkan suatu permasalahan.

Keuntungan lainnya dari berpikir kritis adalah kita akan dengan sendirinya menumbuhkan rasa kemanusiaan karena kita terbiasa menggunakan logika untuk kepentingan bersama.

Yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai manusia yang dianugerahi akal sehat untuk berpikir, selain kritis terhadap hal yang merugikan, kita juga harus terbuka dan siap untuk dikritik, bukan anti-kritik. Hal ini demi kebaikan diri sendiri maupun bersama.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/02/19/190433565/kritik-dan-bersikap-kritis-dalam-keseharian-kita

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke