KOMPAS.com - Jumlah korban jiwa akibat terjangkit virus corona atau Covid-19 di Indonesia terus bertambah.
Hingga Sabtu (26/9/2020), jumlah korban jiwa akibat Covid-19 mencapai 10.308 orang.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat, setidaknya ada 117 dokter yang meninggal dunia.
Berdasarkan data 10 September 2020, kematian dokter selama Covid-19 tersebar di sejumlah wilayah di Indonesia.
Kematian dokter tidak hanya terjadi di Rumah Sakit rujukan Covid-19, namun juga di Puskesmas daerah.
Terbaru, diberitakan Kompas.com, Sabtu (25/9/2020) seorang dokter di Puskesmas Air Tiris, Kabupaten Kampar, Riau, meninggal dunia akibat Covid-19.
Dokter Jhon Andi Zainal meninggal dunia pada Kamis (24/9/2020), sekitar pukul 14.45 WIB.
Selain positif Covid-19, almarhum Jhon Andi Zainal juga memiliki penyakit diabetes.
Sebelumnya, provinsi Riau juga kehilangan dokter Oki Alfian yang bertugas di Puskesmas Gunung Sahilan, Kabupaten Kampar, Riau.
Almarhum meninggal dunia akibat Covid-19 pada Sabtu (12/9/2020) lalu.
Apakah kematian dokter-dokter tersebut merupakan sinyal bahwa penularan Covid-19 sudah merambah hingga ke daerah?
Epidemiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riris Andono mengatakan, ukuran penyebaran Covid-19 di suatu daerah tidak didasarkan pada kasus kematian di daerah tersebut.
"Ukuran penyebarannya kan, seberapa luas kasusnya. Bukan karena kematiannya. Kematiannya itu hal yang lain lagi," kata Riris saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (26/9/2020).
Namun, Riris tidak menampik bahwa saat ini kasus-kasus Covid-19 di Indonesia memang sudah menyebar ke berbagai daerah.
"Kalau sudah ada kasus di situ, berarti sudah menyebar kan?" paparnya.
Riris mengatakan, selama mobilitas tetap terjadi, virus akan menyebar sesuai pola penyebaran manusia. Kecuali, jika mobilitas antar daerah ditutup.
Namun, karena saat ini penyebaran Covid-19 sudah merata ke berbagai daerah, maka Riris menyebut bahwa membatasi perjalanan antar wilayah tidak lagi menjadi pilihan yang efektif.
"Yang dibatasi justru mobilitas di dalam tiap-tiap kota itu," kata Riris.
Menurut dia, pembatasan mobilitas dalam kota bisa dilakukan dengan memberlakukan kebijakan seperti, kerja dari rumah, sekolah dari rumah, beribadah di rumah, dan meniadakan keramaian.
Kebijakan-kebijakan tersebut, diikuti dengan penerapan 3T (test, trace, dan treat) serta perilaku 3M (mencuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak).
Sampai terkendali
Riris menambahkan, pembatasan mobilitas dalam kota dilakukan selama transmisi atau penularan virus corona penyebab Covid-19 masih tinggi.
"Kalau sudah terkendali ya bisa dilonggarkan sedikit," ujar dia.
Sementara itu, Riris mengatakan, suatu daerah bisa disebut sudah mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 jika tidak ada peningkatan kasus.
"Selagi masih ada peningkatan kasus, maka masih belum," kata dia.
Salah satu indikator yang dapat dilihat yakni dari positivity rate.
"Kalau kemudian tesnya sudah banyak tapi positivity rate-nya tetap meningkat, berarti kan ada peningkatan penularan. Itu menandakan, jika tidak dihentikan mobilitasnya, maka penularan akan tetap meningkat," kata Riris.
Sebagai informasi, positivity rate diukur dari perbandingan antara jumlah tes yang dilakukan dengan jumlah kasus positif.
Adapun, standar aman positivity rate yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yakni sebesar lima persen.
https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/27/121600965/berkaca-dari-kasus-kematian-nakes-di-puskesmas-benarkah-penularan-corona