Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Optimisme Itu Masih Ada, Covid-19 Bisa Terkendali, jika...

Lebih dari 6 bulan virus corona dikonfirmasi di Indonesia, ribuan orang meninggal dunia karena Covid-19.

Termasuk di dalamnya lebih dari 100 orang dokter. Di sejumlah daerah, yang sebelumnya telah melonggarkan pembatasan, kini diketatkan kembali.

Penambahan kasus harian semakin mengkhawatirkan. Dalam kondisi ini, kepatuhan terhadap protokol kesehatan, satu-satunya yang bisa kita lakukan saat ini untuk mencegah penularan.

Namun, di luar sana, masih banyak yang abai.

Dokter yang menangani pasien Covid-19 adalah yang paling tahu bagaimana meresahkannya situasi ini.

Pada Senin (14/9/2020), Kompas.com berbincang dengan seorang dokter spesialis paru yang menangani pasien Covid-19 di Jakarta, dr. Eva Sri Diana, SpP.

Selain berpraktik di RSUD Pasar Rebo dan Harapan Bunda, ia juga ditugaskan untuk turun tangan di RS Darurat untuk Covid-19 di Wisma Atlet, Kemayoran.

Ini cerita dokter Eva.

Dibukanya berbagai pusat perbelanjaan, moda transportasi umum, perkantoran, dan area publik lainnya membuat penularan terus terjadi.

Hal ini membuat tugas para nakes belum bisa akan berhenti.

"Kita bisa punya uang banyak, kita bisa bikin apa saja dengan uang, tapi tidak bisa menciptakan satu dokter dengan uang. Butuh waktu 26 tahun untuk bisa jadi seorang dokter," kata Eva, dalam perbincangan melalui telepon.

Tak hanya soal waktu yang panjang dan biaya yang tak sedikit untuk mencetak seorang dokter, butuh bakat, panggilan jiwa, dan kemauan mengabdi. 

Ia mengatakan, sesungguhnya para dokter seperti dirinya memiliki pilihan untuk menolak tugas merawat pasien Covid-19.

Namun karena rasa pengabdian, panggilan ini tidak mungkin diabaikan.

"Saya punya pilihan kok untuk tidak melayani pasien, 'Saya sudah lelah', gitu bisa saja kan? Tapikan jiwa pengabdian. Kalau saya kabur, terus siapa? Orang dokter paru kurang, dokter penyakit kurang. Itu Wisma Atlet bayangin 5 tower dokternya cuma berapa orang, gila-gilaan itu," ucap Eva.

Menurut Eva, ada pasien yang menolak diberitahu jika dirinya positif Covid-19. Tidak menerima keadaan, ada pula pasien yang menuduh dokter dan rumah sakit merekayasa hasil tes agar bisa mengeruk keuntungan.

"Mereka itu sudah curiga, disangkanya hasilnya direkayasa, dibikin positif supaya dokternya dapet duit Rp 50 juta per orang. Per pasien itu katanya rumah sakit (dapat) Rp 50 juta. Ya enggak mungkin lah, kita saja sudah kepusingan kalau pasien itu enggak keluar-keluar. Stres,s" ujar dia.

Apalagi virus ini adalah sesuatu yang tidak terlihat dengan mata telanjang sehingga banyak orang masih menyepelekan dan tidak mengakui keberadaannya. 

"Karena dia (virus corona) saking mudahnya menular, tidak nampak, ditambah orang tidak percaya, ini yang membuat virus ini tidak berhenti wabahnya. Membuat sadar masyarakat awam ini susah, kalau mereka belum ngerasain, belum sadar," ujar Eva.

Eva mengatakan, semua pekerjaan pasti melelahkan. Namun, hal itu merupakan bagian dari tanggung jawab untuk terus dilakukan. 

"Sedih ya. Kita kerja boleh capek semua asal itu memang sudah seharusnya, bukan penyakit yang dicari-cari. Kadang sudah jelas pasien ini Covid, enggak percaya, pulang. Kita kan enggak bisa memaksa pasien dirawat. Nah, dia berkerumun lagi semua (terjadilah penularan baru)," kata dia.

Oleh karena itu, Eva berharap upaya yang dilakukan pemerintah saat ini untuk membendung laju penularan harus dibarengi dengan edukasi yang membuat seluruh pihak paham dan mengakui keberadaan virus ini.

Mereka masih percaya pandemi bisa segera berakhir di Indonesia jika semua elemen bersama-sama menghentikan proses penularan virus.

"Cuma saya masih optimistis pandemi ini bisa berakhir. Di Indonesia khususnya, ketika kita sama-sama menyadari bahwa penyakit ini berbahaya. Dan kita sama-sama menghentikan penularan," kata dia.

"Kan kuncinya cuma satu, asal tidak bertemu (sehingga virus tidak) berpindah dari satu inang ke tubuh yang lain, itu tidak akan terjadi penularan. Jadi stop bergerak semua, yang sakit bisa sembuh atau memang sudah tidak tertolong, ya selesai. Semua patuh tidak saling bertemu, itu saja," lanjut Eva.

Menurut dia, pemerintah juga harus memberikan hukuman yang tegas pada orang-orang yang tidak mau mematuhi protokol kesehatan.

Jika masih banyak yang bepergian, berkerumun untuk hal-hal yang tidak esensial, hal ini akan menghambat upaya menekan penyebaran virus. 

"Tapi kalau misalnya pemerintah dan rakyat sama-sama (berkontribusi sesuai porsi), saya optimistis kok, enggak butuh waktu lama, paling dua bulan selesai. Kalau benar-benar semua kompak, mungkin enggak sampai 2 bulan semua selesai kok, karena kalau Covid ini tidak ketemu inang, dia enggak bisa hidup," ujar Eva.

Hal lain yang membuat Eva optimis adalah mengetahui karakter dari Covid-19 yang sudah mulai diketahui.

"Karena ini penyakit jelas, penyebarannya jelas. Dia bisa bertahan di luar tanpa inang itu hanya berapa hari bahkan hanya beberapa jam. Andaikan dia tidak ada tempat untuk berpindah, dia pasti mati. Saya yakin kok, bisa," kata dia.

https://www.kompas.com/tren/read/2020/09/17/091333465/optimisme-itu-masih-ada-covid-19-bisa-terkendali-jika

Terkini Lainnya

Revisi UU MK dan Catatan Panjang Pembentukan Undang-Undang 'Kejar Tayang' Era Jokowi

Revisi UU MK dan Catatan Panjang Pembentukan Undang-Undang "Kejar Tayang" Era Jokowi

Tren
Bangsa yang Menua dan Kompleksitas Generasi Muda

Bangsa yang Menua dan Kompleksitas Generasi Muda

Tren
Duet Minions Berakhir Usai Kevin Sanjaya Pensiun, Siapa Penerusnya?

Duet Minions Berakhir Usai Kevin Sanjaya Pensiun, Siapa Penerusnya?

Tren
Google Perkenalkan Produk AI Baru Bernama Project Astra, Apa Itu?

Google Perkenalkan Produk AI Baru Bernama Project Astra, Apa Itu?

Tren
9 Potensi Manfaat Edamame untuk Kesehatan, Termasuk Mengurangi Risiko Diabetes

9 Potensi Manfaat Edamame untuk Kesehatan, Termasuk Mengurangi Risiko Diabetes

Tren
Warganet Keluhkan Harga Tiket Laga Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang Mahal, PSSI: Kami Minta Maaf

Warganet Keluhkan Harga Tiket Laga Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang Mahal, PSSI: Kami Minta Maaf

Tren
Korban Banjir Bandang Sumbar Capai 67 Orang, 20 Masih Hilang, 3 Belum Teridentifikasi

Korban Banjir Bandang Sumbar Capai 67 Orang, 20 Masih Hilang, 3 Belum Teridentifikasi

Tren
5 Manfaat Minum Teh Earl Grey Setiap Hari, Mengusir Sedih dan Menurunkan Berat Badan

5 Manfaat Minum Teh Earl Grey Setiap Hari, Mengusir Sedih dan Menurunkan Berat Badan

Tren
Ramai Larangan 'Study Tour' Imbas Tragedi Bus Ciater, Menparekraf: Bukan Salah Kegiatan

Ramai Larangan "Study Tour" Imbas Tragedi Bus Ciater, Menparekraf: Bukan Salah Kegiatan

Tren
50 Instansi yang Sudah Umumkan Formasi CPNS dan PPPK 2024, Mana Saja?

50 Instansi yang Sudah Umumkan Formasi CPNS dan PPPK 2024, Mana Saja?

Tren
Catat, Ini 5 Ikan Tinggi Purin Pantangan Penderita Asam Urat

Catat, Ini 5 Ikan Tinggi Purin Pantangan Penderita Asam Urat

Tren
BMKG: Wilayah Ini Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 17-18 Mei 2024

BMKG: Wilayah Ini Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 17-18 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Warga Israel Rusak Bantuan Indomie untuk Gaza, Gletser Terakhir di Papua Segera Menghilang

[POPULER TREN] Warga Israel Rusak Bantuan Indomie untuk Gaza, Gletser Terakhir di Papua Segera Menghilang

Tren
Deretan Insiden Pesawat Boeing Sepanjang 2024, Terbaru Dialami Indonesia

Deretan Insiden Pesawat Boeing Sepanjang 2024, Terbaru Dialami Indonesia

Tren
Asal-usul Gelar 'Haji' di Indonesia, Warisan Belanda untuk Pemberontak

Asal-usul Gelar "Haji" di Indonesia, Warisan Belanda untuk Pemberontak

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke