Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ulwan Fakhri
Peneliti

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Kisah Komedian yang Bisa Dipelajari Cawapres

Kompas.com - 01/02/2024, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

GRIT bagai jaring pengaman yang akan menangkap kita supaya kita tidak takut terjatuh saat meniti jalan proses yang panjang dan menantang.

Pasalnya, spesifik pada fase Transform, hasil buruk pun pada dasarnya bisa diubah menjadi sesuatu yang berguna, minimal cerita yang sedikit-banyak bisa menghibur diri sendiri maupun orang lain.

Bocoran dapur dari industri komedi, teknik Transform ini memang andalan para komika dari level pemula hingga yang mendunia seperti Kevin Hart; tidak jauh berbeda dengan teori populer “Comedy = Tragedy + Time”.

Tak heran, banyak dari mereka yang gigih berusaha menghadapi dan melewati problem hidupnya. Sebab pada akhirnya, para komika ini yakin bahwa pengalaman pahitnya akan, setidaknya, menjadi bahan komedi baru yang mengandung nilai ekonomi.

Sayang, baik konsep grit maupun GRIT ini belum terlalu populer bagi awam, sehingga tidak sampai dijadikan pegangan hidup oleh salah seorang cawapres sebelum memutuskan berkompetisi di Pilpres 2024.

Tak heran kalau ia enggan berproses dari bawah dan malah mengambil gratifikasi instan yang berpotensi merusak kariernya sendiri – juga negara yang konon ia cintai.

Kalau gagal di ajang ini, ia dan keluarganya mungkin saja akan terlalu larut dalam kesedihan atau emosi negatif lain. Pasalnya, mereka belum tentu paham bahwa “tragedi” ini nantinya bisa ditertawakan juga di waktu yang tepat.

Namun sebaliknya, kalau di Pilpres ini cawapres yang sudah memilih jalan gratifikasi instan – termasuk dengan mengubah konstitusi negara – tersebut sampai menang, maka yang merasakan “tragedi”-nya jadi kita semua, rakyat Indonesia.

Masyarakatlah yang akan menanggung contoh ketidaketisan ini di banyak aspek, terutama aspek moral.

Kita memang bakal bisa menertawakannya di kemudian hari, tapi tidakkah sayang karena sebenarnya kita mampu mengantisipasi “tragedi” tersebut agar tidak sampai terjadi?

Pemikir humor, Henri Bergson, pernah bilang, “Tawa kita selalu tawa bersama.” Daripada dinasti keluarga saja dan kroni-kroninya yang tertawa, kan lebih pantas dan lucu jadinya kalau kita semualah yang menertawakan kekalahan mereka?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com