Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ulwan Fakhri
Peneliti

Peneliti humor di Institut Humor Indonesia Kini (IHIK3)

Kisah Komedian yang Bisa Dipelajari Cawapres

Kompas.com - 01/02/2024, 10:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

JAUH sebelum masuk ke daftar 10 komedian terkaya di dunia seperti sekarang – estimasi kekayaannya di 2023 mencapai Rp 7 triliun, Kevin Hart menjalani proses yang “gila”.

Sekitar dua dekade lalu, Kevin yang masih berstatus sebagai komika pemula sedang butuh-butuhnya menambah jam terbang.

Walau di kotanya tinggal, Philadelphia, juga banyak comedy club, tetapi demi terus memperbesar peluangnya menjadi komika profesional, ia mengikuti temannya – seorang komika yang lebih senior – untuk menjelajah kiblatnya stand-up comedy: New York.

Maka dimulailah aktivitas rutin pulang-pergi Philadelphia-New York. Mereka berdua menempuh jarak minimal 300 km, atau mendekati jarak Surabaya-Yogyakarta, setiap harinya selama lima kali dalam seminggu.

Bahkan, sempat ada hari-hari ketika Kevin dan temannya tadi harus berkendara selama 12 jam lebih, karena harus bolak-balik dua kota itu di hari yang sama pula.

Apakah dengan mencoba peruntungan di New York, komika yang sekarang sudah membintangi sejumlah film box office itu langsung mendapatkan stage time yang memadai?

Walau temannya tadi bisa-bisa saja memasukkannya ke daftar penampil, ia malah cuma mengizinkan Kevin mempelajari komika-komika lain dan mengobservasi audiens di sana saja.

Kevin juga tidak lantas disambut hangat oleh komika-komika kondang saat itu, seperti Patrice O’Neal. Ia bahkan harus duduk di meja terpisah dengan temannya tadi yang sudah bisa asyik bercengkrama bersama komika populer lainnya.

Seiring berjalannya waktu, 30 jam yang ia habiskan dalam seminggu hanya untuk perjalanan itu mulai menunjukkan hasil. Kevin mulai dipercaya untuk tampil dengan durasi maksimal 5 menit, walau tanpa bayaran.

Sampai sempat ada satu momen, istrinya saat itu curiga Kevin punya gundik di New York, karena lebih sering menghabiskan waktu di sana dan pulang dengan dompet selalu kosong!

Seperti dijelaskan lebih lanjut dalam otobiografinya, I Can’t Make This Up (2017), proses yang berlangsung selama ribuan jam itu ia jalani secara tekun dan kontinu sampai akhirnya Kevin Hart mulai dikenali oleh talent agent ternama dan berkesempatan menjajaki panggung-panggung yang lebih prestisius. Sisanya adalah sejarah.

Defisit Grit dan GRIT

Masih kuatnya anggapan bahwa komedian adalah profesi “kelas dua”, kiranya membuat Anda sangsi menjadikannya inspirasi kisah sukses.

Akan tetapi dari penggalan cerita Kevin Hart tadi saja, ada setidaknya dua contoh penting bagi profesional di bidang apa pun, baik sesama seniman, pebisnis, termasuk bagi seorang calon wakil presiden (cawapres).

Pertama, Kevin membuktikan apa yang sudah ditulis Angela Duckworth dalam Grit: The Power of Passion and Perseverance (2016). Menurut Angela, bakat bukan satu-satunya kunci sukses.

Bakat harus digabungkan dengan kegigihan. Sebab kegigihan inilah yang akan menghadang kita supaya tidak mengambil gratifikasi instan.

Di momen tadi, contohnya, Kevin bisa memilih untuk berhenti dan menjadi komika di Philadelphia saja. Namun, ia kesampingkan gratifikasi instan itu dan memilih menempa diri di New York untuk memetik hasil yang lebih nikmat di kemudian hari.

Apalagi di masa kini, godaan gratifikasi instan atau short-term pleasure memang makin menjadi-jadi. Bentuknya bisa berwujud scrolling tanpa henti dan kehausan akan validasi di media sosial hingga secara tidak tahu malu menerima bermacam-macam bantuan dari keluarga untuk maju menjadi cawapres, tanpa berproses dulu dan mengikuti aturan yang sudah ada.

Padahal, selain lewat bukti-bukti anekdotal seperti cerita Kevin Hart di atas, efek dari bagaimana kita memperlakukan gratifikasi – menunda atau mengambilnya sekarang – juga sudah diuji secara ilmiah.

Profesor di bidang psikologi Stanford University, Walter Mischel, menjalankan eksperimen marshmallow-nya pertama kali tahun 1972.

Dalam studi ini, anak-anak yang menjadi sampel diberi pilihan, apakah ingin mengambil sebuah marshmallow yang tersaji di hadapannya sekarang atau menunggu sekitar 15 menit untuk mendapatkan dua buah marshmallow.

Dalam studi lanjutannya sekitar 20 tahun kemudian, terungkap bahwa anak-anak yang sanggup menunggu hingga mendapatkan marshmallow kedua (delayed gratification) cenderung memiliki skor akademik yang lebih baik, postur tubuh lebih ideal, dan beberapa karakteristik positif lain dibandingkan mereka yang tidak mampu menunggu (instant gratification).

Untung hingga akhir hayatnya, Profesor Mischel tidak sampai mereplikasi penelitian monumentalnya itu di Indonesia. Sebab, ia bisa menemukan tantangan dalam menjalankannya.

Lebih-lebih sekarang ini, yakni ketika seluruh masyarakat sudah bisa melihat contoh riil bagaimana seorang anak didukung sedemikian total oleh keluarganya demi mendapatkan jabatan.

Bayangkan, betapa tidak pusing Profesor Mischel, kalau di eksperimen ini mulanya ia mendapati seorang anak yang tampak sopan dan segan untuk memakan sebuah marshmallow di hadapannya.

Akan tetapi, ayah anak tadi bersama ibunya, pamannya, kakak iparnya, termasuk adiknya, diam-diam masuk ke ruang eksperimen dan membawakan sebungkus marshmallow dari luar, sehingga si anak bisa makan marshmallow sebanyak-banyaknya – bahkan lebih banyak dari yang akan ia dapat sebagai hadiah dari eksperimen ini jika berhasil menunda hasratnya.

Apabila praktik ini dibiarkan dan tidak ada yang mencoba menyadarkan masyarakat kita, bagaimana gratifikasi instan tidak makin merajalela dan merusak bangsa dalam beberapa tahun ke depan?

Di samping itu, ternyata ada konsep dari buku lain yang berkesinambungan dengan istilah yang mirip pula.

Jadi, ketika bakat sudah dijalankan dengan gigih dan tabah (grit), tetapi hasilnya belum sesuai yang diinginkan, maka yang bisa dilakukan adalah mentransformasikannya menjadi humor dengan teknik GRIT.

Dari pengalaman pribadi dan wawasan yang ia dapat salah satunya sebagai Certified Humor Professional dari Association for Applied and Therapeutic Humor (AATH), Jennifer Keith menjabarkan dalam Fixing the Funny Bone (2022) tahapan-tahapan yang perlu dilewati untuk mengkonversi tragedi dan trauma dengan humor.

Konsep tahapan itu ia sederhanakan menjadi GRIT, yakni Grief (luapkan dulu kesedihan), Relate (carilah komunitas yang sesuai untuk sama-sama berjuang dari masalah), Invest (investasi ke hal-hal yang membahagiakan diri), serta Transform (bingkai ulang masalah menjadi humor).

GRIT bagai jaring pengaman yang akan menangkap kita supaya kita tidak takut terjatuh saat meniti jalan proses yang panjang dan menantang.

Pasalnya, spesifik pada fase Transform, hasil buruk pun pada dasarnya bisa diubah menjadi sesuatu yang berguna, minimal cerita yang sedikit-banyak bisa menghibur diri sendiri maupun orang lain.

Bocoran dapur dari industri komedi, teknik Transform ini memang andalan para komika dari level pemula hingga yang mendunia seperti Kevin Hart; tidak jauh berbeda dengan teori populer “Comedy = Tragedy + Time”.

Tak heran, banyak dari mereka yang gigih berusaha menghadapi dan melewati problem hidupnya. Sebab pada akhirnya, para komika ini yakin bahwa pengalaman pahitnya akan, setidaknya, menjadi bahan komedi baru yang mengandung nilai ekonomi.

Sayang, baik konsep grit maupun GRIT ini belum terlalu populer bagi awam, sehingga tidak sampai dijadikan pegangan hidup oleh salah seorang cawapres sebelum memutuskan berkompetisi di Pilpres 2024.

Tak heran kalau ia enggan berproses dari bawah dan malah mengambil gratifikasi instan yang berpotensi merusak kariernya sendiri – juga negara yang konon ia cintai.

Kalau gagal di ajang ini, ia dan keluarganya mungkin saja akan terlalu larut dalam kesedihan atau emosi negatif lain. Pasalnya, mereka belum tentu paham bahwa “tragedi” ini nantinya bisa ditertawakan juga di waktu yang tepat.

Namun sebaliknya, kalau di Pilpres ini cawapres yang sudah memilih jalan gratifikasi instan – termasuk dengan mengubah konstitusi negara – tersebut sampai menang, maka yang merasakan “tragedi”-nya jadi kita semua, rakyat Indonesia.

Masyarakatlah yang akan menanggung contoh ketidaketisan ini di banyak aspek, terutama aspek moral.

Kita memang bakal bisa menertawakannya di kemudian hari, tapi tidakkah sayang karena sebenarnya kita mampu mengantisipasi “tragedi” tersebut agar tidak sampai terjadi?

Pemikir humor, Henri Bergson, pernah bilang, “Tawa kita selalu tawa bersama.” Daripada dinasti keluarga saja dan kroni-kroninya yang tertawa, kan lebih pantas dan lucu jadinya kalau kita semualah yang menertawakan kekalahan mereka?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com