MASYARAKAT Nusantara itu daya tahannya sekuat baja, selentur karet, atau sefleksibel jenang. Orang-orang kepulauan itu tahan menderita.
Kita mampu bertahan hidup dalam menghadapi berbagai cobaan. Kita bisa hidup apa adanya. Kita menerima keadaan dan pasrah saja pada nasib berkali-kali di berbagai pulau, masa, dan era.
Bencana alam, konflik, gegar masyarakat, badai sosial, ekonomi, dan politik telah kita lalui. Semua ada catatannya. Bisa dibaca.
Gunung meletus, ombak meninggi, bumi bergetar, jembatan runtuh, gedung ambruk semua sudah pernah diujikan dan dicobakan. Hidup jalan terus. Apa adanya. Itulah kita, Indonesia.
Dalam berbagai kajian sosial dan ilmu tentang kebencanaan, daya tahan masyarakat lokal Nusantara ini seringkali mengejutkan.
Dalam menghadapi berbagai bencana alam, dengan korban jiwa, harta, dan fasilitas yang begitu parah, yang tersisa bertahan hidup. Orang-orang yang berpegang berbagai tradisi dari macam-macam suku Nusantara mempunyai ketahanan sendiri menghadapi bahaya.
Diam, tenang, dan pasrah. Gaduh hanya sesaat, setelah itu sunyi dan senyap lagi. Mayoritas diam.
Masyarakat berbagai pulau mempunyai daya tahan hidup dalam menghadapi segala penderitaan. Yang gugur banyak, yang masih tersisa melanjutkan hidup apa adanya dan tetap berjuang sebisanya.
Sepertinya bukan sesuatu yang membanggakan, hidup apa adanya dan menerima kenyataan, tetapi itulah kekuatan Nusantara. Menerima yang terjadi, menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa, dan melupakan kesukaran.
Ketika terjadi Tsunami di Aceh 2004, banyak yang ditinggal sanak kadang, bahkan semua anggota keluarganya hilang.
Masyarakat berbagai gampong harus menata ulang dan bekerjasama dengan berbagai pihak, lokal atau asing, kenal atau orang baru.
Betul, uluran tangan nasional dan internasional turut meringankan waktu itu, saling bergandeng tangan dalam meringankan beban ekonomi, sosial, dan spiritual tidak dipungkiri.
Namun kekuatan orang-orang Aceh dalam menerima kenyataan dan daya tahan hidup mereka sekuat rencong-rencongnya.
Daya orang-orang Aceh sama ketika menghadapi Belanda, paling akhir menyerah ke kolonial dibanding daerah-daerah lain di seantero Nusantara.
Gigih, bertahan, dan tidak goyang. Tidak kenal menyerah. Rencong terselip atau terhunus, tetap tidak pernah mengaku kalah.