Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ignatius B Prasetyo

A Masterless Samurai

Damai di Hati, Damai di Bumi

Kompas.com - 27/12/2023, 13:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Niat baik bisa diwujudkan kapan pun, asal ada kemauan. Niat baik merupakan sikap untuk selalu mengatakan "ya" pada kehendak Tuhan, atas hal-hal kecil, apalagi hal besar.

Seperti juga saat Bunda Maria mengatakan "Fiat", ketika malaikat Gabriel memberitakan bahwa dia akan mengandung bayi yang akan menjadi penyelamat umat manusia. Terjadilah apa yang menjadi kehendak-Mu, itulah jawaban Bunda Maria.

Padahal saat malaikat menyampaikan kabar gembira itu, Bunda Maria belum bersuami. Akan tetapi, dengan niat baik yang terwujud pada kepercayaan dan berserah diri kepada Tuhan, maka Yesus dapat terlahir di dunia, untuk kita umat manusia.

Masih perihal damai, Santo Paus Yohanes XXIII mengatakan dalam pesan Natalnya pada tahun 1959, kedamaian sejati mewujudkan diri dalam tiga hal.

Pertama adalah kedamaian di hati, yang mendorong orang untuk mempunyai cinta kasih dan patuh kepada Tuhan.

Kedua adalah kedamaian sosial, yaitu rasa saling hormat atas harkat dan martabat manusia. Rasa hormat ini penting untuk menerima perbedaan, seperti sudah saya tulis pada awal tulisan perihal orang Jepang yang bisa menerima perbedaan apa pun, bahkan agama.

Ketiga adalah kedamaian internasional. Ini bisa diwujudkan berdasarkan satu hal, yaitu kebenaran. Dengan kebenaran, maka orang bisa terbebaskan.

Saya mengikuti misa tengah malam saat misa malam Natal 24 Desember lalu. Meskipun misa tengah malam merupakan tradisi panjang Gereja Kristen Katolik yang sudah dilaksanakan sejak lama, tidak banyak gereja mengadakan misa tengah malam di Tokyo.

Saat misa selesai kira-kira pukul 00.30 tengah malam, suhu udara di luar sekitar 2 derajat celsius. Saya berjalan menuju rumah sambil memasukkan tangan ke kantong jaket karena suhu seperti ini tidak ramah bagi orang kelahiran daerah tropis.

Tidak ada suara bel berbunyi yang bisa saya dengar saat itu. Akan tetapi, sambil memejamkan mata dan menghembuskan napas yang berubah menjadi asap putih karena dinginnya suhu, saya menyenandungkan lagu "I Heard the Bells on Christmas Day" dalam hati.

Lagu ini ditulis berdasarkan puisi karya Henry W. Longfellow. Dia menuliskan puisi ini tentu bukan dengan hati damai karena saat itu perang sipil sedang terjadi di Amerika sana.

Bahkan anaknya yang pergi ke medan perang terluka, dan Henry juga baru saja kehilangan istri tercinta.

Bisa dipastikan bahwa bukan bunyi lonceng yang terdengar oleh Henry, namun bunyi dentuman karena memang dia berada saat situasi peperangan terjadi.

Akan tetapi, dia mempunyai harapan dan berserah diri kepada kehendak Tuhan bahwa segalanya akan menjadi baik nantinya.

Kita bisa simak harapannya pada lirik lagu yang akan saya kutip berikut ini sebagai penutup tulisan.

"Then rang the bells more loud and deep
God is not dead, nor doth He sleep
The wrong shall fail, the right prevail
With peace on earth, Goodwill to men"

Selamat Natal 2023. Gloria in Excelsis Deo.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com