Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Andang Subaharianto
Dosen

Antropolog, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, Rektor UNTAG Banyuwangi, Sekjen PERTINASIA (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia)

Keterasingan Pak Marhaen Menjelang Pemilu 2024

Kompas.com - 25/12/2023, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEBUT saja Pak Marhaen, calon pemilih pada Pemilu 2024 yang sebangku dengan saya di kereta api kelas ekonomi Surabaya – Banyuwangi tempo hari. Cerita Pak Marhaen perihal pemilihan umum (pemilu) selama dua jam lebih, buat saya, adalah data.

Saya yakin, Pak Marhaen mewakili kaumnya. Jumlahnya tidak kecil di antara 204,8 juta pemilih pada Pemilu 2024.

Mereka adalah petani dan nelayan kecil, pekerja serabutan, pedagang kecil di sektor informal dan pasar tradisional, buruh, dan orang kecil lain. Jumlahnya bisa puluhan juta.

Namun, jangan salah. Meski Pak Marhaen serba kecil, dalam konteks pemilu nilainya sama saja dengan seorang profesor.

Suara Pak Marhaen sama nilainya dengan suara seorang profesor. Tak aneh, setiap pemilu suara golongan Pak Marhaen diburu, di antaranya dengan strategi “serangan fajar atau politik sembako”.

Pak Marhaen bercerita bahwa dirinya menjadi pemilih sejak Pemilu 1987, pemilu keempat zaman Orde Baru. Ia tak pernah golput (golongan putih), bahkan tak ada pikiran untuk golput.

Saat itu Pak Marhaen beberapa kali ikut kampanye di tingkat desa dan kecamatan yang diadakan oleh Golongan Karya (Golkar). Seingat Pak Marhaen hanya Golkar yang kampanye sampai di desa.

Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tak terdengar kampanye di desa.

Pak Marhaen ikut kampanye, karena diajak tetangganya yang guru SD (Sekolah Dasar) di desanya. Tetangganya yang guru SD itu pula yang memengaruhi agar Pak Marhaen memilih Golkar. Saat itu, Pegawai Negeri Sipil (PNS), terutama guru SD, adalah andalan Golkar.

Pak Marhaen tak banyak bertanya, karena tetangganya itu sering membantu keluarga orangtuanya. Ayahnya hanya buruh tani, bekerja serabutan, dan ibunya pembantu rumahtangga di keluarga guru tersebut.

Pak Marhaen mengaku senang-senang saja ikut kampanye. Selain mendapatkan kaos, juga diberi makan, dan mendapat hiburan musik dangdut dari kelompok musik lokal. Seingatnya tak ada uang transport. Kendaraan sudah disiapkan, biasanya truk.

Pak Marhaen tak pernah memahami apa yang diomongkan oleh para juru kampanye. Hanya satu yang selalu diingatnya, “Pilih Golkar nggih dulur-dulur, gambar ringin” (pilih Golkar ya saudara-saudara, gambar pohon beringin).

Lalu, soal listrik masuk desa. Kata juru kampanye, desanya akan dialiri listrik seperti kota bila warga memilih Golkar. Namun, Pak Marhaen tak tahu pasti apakah listrik yang menerangi desanya berkat Golkar yang memang menang di desanya.

Sejak zaman reformasi, Pak Marhaen tak pernah lagi ikut kampanye. Waktu, tenaga dan pikirannya praktis habis untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidupnya.

Sejak desanya tak lagi memberikan harapan hidup, Pak Marhaen meninggalkannya. Ia hidup dari kota ke kota menjadi kuli bangunan. Hingga akhirnya bersama sang istri menetap di Surabaya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com