Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Perjalanan Ibu Kota Indonesia Pascaproklamasi

Kompas.com - 15/11/2023, 10:00 WIB
Rebeca Bernike Etania,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Setelah terjadinya proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jakarta secara de facto diakui sebagai ibu kota negara.

Jakarta pun menjadi pusat pemerintahan setelah pelaksanaan proklamasi kemerdekaan di wilayah tersebut.

Namun, status Jakarta sebagai ibu kota negara secara de jure baru diakui pada 1961 melalui Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1961 jo. UU PNPS No. 2 Tahun 1961.

Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, beberapa kendala terkait dengan masalah keamanan dan kedaulatan memaksa ibu kota Indonesia untuk mengalami beberapa pemindahan sementara dari Jakarta.

Berikut ini rangkuman sejarah pemindahan ibu kota Indonesia pasca-proklamasi kemerdekaan yang menjadi bagian penting dalam sejarah perkembangan administratif negara.

Baca juga: Cerita Mereka yang Tersingkir Setelah Lahannya Diambil Proyek IKN

Yogyakarta

Pada 4 Januari 1946, Indonesia melakukan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta.

Hal ini terjadi karena pada tahun-tahun awal pasca-proklamasi kemerdekaan, Jakarta sebagai pusat pemerintahan negara, telah menghadapi berbagai tekanan yang signifikan.

Salah satunya karena keberadaan tentara NICA pada 29 September 1945 dan masih adanya pasukan Jepang yang belum ditarik menciptakan situasi tegang.

Pada awalnya, sejumlah pejabat negara mencoba bertahan di Jakarta. Namun, pada 1 Januari 1946, sebuah rapat di kediaman Ir. Soekarno memutuskan untuk mengendalikan pemerintahan Indonesia dari luar wilayah Jakarta.

Pada 2 Januari 1946, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengusulkan pemindahan sementara ibu kota dari Jakarta ke Yogyakarta.

Rencana ini dilaksanakan pada malam tanggal 3 Januari 1946, dengan para pejabat negara dipindahkan secara diam-diam menggunakan kereta api.

Sementara mereka pergi, kendali keamanan di Jakarta diserahkan kepada Letkol Daan Jahja yang juga menjabat sebagai Gubernur Militer Kota Jakarta. Sementara itu, Perdana Menteri Sutan Sjahrir tetap berada di Jakarta.

Tepat dini hari tanggal 4 Januari 1946, rombongan tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta dan secara resmi ibu kota negara serta pemerintahan Indonesia dijalankan dari Gedung Agung sebagai istana kepresidenan.

Pemerintahan ibu kota negara di sana berlangsung hingga jatuhnya Yogyakarta selama Agresi Militer Belanda I.

Baca juga: 13 Lembaga PBB Dukung Pembangunan di IKN

Bireuen

Pada 18 Juni 1948, terjadi pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Bireuen.

Meskipun tidak secara resmi dicatat sebagai ibu kota negara, Bireuen sering disebut sebagai ibu kota sementara selain Yogyakarta dan Bukittinggi.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pidato penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa di Gedung AAC Dayan Dawood Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh, pada Sabtu, 14 November 2015, menyatakan bahwa Bireuen memang pernah menjadi ibu kota negara.

Menurut Jusuf Kalla, pada 8 Juni 1948, Ir. Soekarno pindah dari Yogyakarta ke Bireuen dan mengendalikan pemerintahannya dalam keadaan darurat selama sepekan.

Pada saat itu, Bireuen merupakan pusat kemiliteran Aceh memiliki posisi strategis untuk memblokade serangan Belanda di Medan Area, yang saat itu telah menguasai Sumatera Timur.

Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada perdebatan apakah Ir. Soekarno benar-benar memindahkan ibu kota negara sementara ke Bireuen atau hanya melakukan kunjungan kerja biasa.

Bukittingi

Pada 19 Desember 1948, terjadi pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Bukittinggi.

Kota Bukittinggi memegang peran sebagai ibu kota negara setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda, periode ini berlangsung dari Desember 1948 hingga Juni 1949.

Sebelumnya, Bukittinggi telah ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Sumatera pada 9 Agustus 1947.

Saat itu, Bukittinggi menjadi pusat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) setelah Yogyakarta diserang dalam Agresi Militer Belanda II.

Keputusan ini diambil dalam rapat mendesak pada 19 Desember 1948 oleh kabinet di Yogyakarta, dan keputusan tersebut dicatat dalam pesan kawat.

Pesan kawat tersebut dikirimkan kepada Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia di Bukittinggi, serta Mr. Maramis dan dua tokoh lainnya yang berada di India.

Isi pesan kawat tersebut mencakup penyerahan mandat untuk membentuk pemerintahan darurat.

Namun, kendala dalam perjalanan menyebabkan mandat tersebut tidak sampai ke tangan Syafruddin Prawiranegara dan menciptakan kekacauan.

Meskipun demikian, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) tetap dibentuk, dengan Syafruddin Prawiranegara sebagai pemimpin hingga kembalinya Ir. Sukarno dan Moh. Hatta ke Yogyakarta.

Baca juga: Konsisten Tolak IKN Nusantara, Fraksi PKS Akui Hanya Sendiri di DPR

Kembali ke Yogyakarta

Pada 27 Desember 1949, terjadi pemindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta.

Setelah hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), Negara Kesatuan Republik Indonesia mengalami transformasi menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS).

RIS, bersama dengan Kerajaan Belanda, membentuk konfederasi Uni Belanda-Indonesia yang dipimpin oleh Ratu Belanda.

Republik Indonesia Serikat secara resmi didirikan pada 27 Desember 1949, membawahi beberapa negara bagian, satuan kenegaraan, dan daerah swapraja.

Pada saat itu, Ir. Soekarno menjabat sebaga presiden RIS, sedangkan Mohammad Hatta menjabat sebagai perdana menteri RIS.

Negara Republik Indonesia menjadi salah satu negara bagian dari RIS, dengan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahannya.

Wilayah Negara Republik Indonesia meliputi Aceh, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumatera Tengah, Tapanuli, dan Yogyakarta.

Mr. Assaat, yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), menjadi pemangku jabatan wali negara Republik Indonesia pada saat itu.

Republik Indonesia Serikat berdiri hingga 17 Agustus 1950 dan kemudian digantikan oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Jakarta

Meskipun Jakarta telah berfungsi sebagai ibu kota negara sejak proklamasi, statusnya sebagai ibu kota Indonesia secara de jure baru diakui pada 1961 setelah dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1961.

Pentingnya Jakarta sebagai ibu kota kemudian diperkuat dengan disahkannya UU Nomor 10 Tahun 1964.

Dengan penetapan Jakarta sebagai ibu kota, semua aktivitas pemerintahan, bisnis, dan ekonomi menjadi berpusat di kota ini.

Secara bertahap, Jakarta berkembang menjadi magnet yang terus menarik penduduk dari berbagai daerah untuk mencari kesempatan di ibu kota negara.

Baca juga: Presiden Baru dan Potensi Warisan Masalah Ibu Kota Baru

Kutai Kertanegara

Pemerintah secara resmi akan memindahkan ibu kota Indonesia ke Kalimantan Timur, khususnya Kutai Kartanegara pada 2024 mendatang.

Keputusan ini diambil setelah DPR meratifikasi RUU IKN (Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara) menjadi Undang-Undang.

Menurut jurnal berjudul Analisa Pemindahan Ibukota Negara karya Wesley Liano, pemindahan ibu kota ke Kalimantan ini diharapkan dapat memperkuat posisi Indonesia sebagai negara maritim.

Selain itu, pemindahan ibu kota Indonesia juga dianggap sebagai dukungan terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah telah menetapkan Nusantara sebagai nama ibu kota negara yang baru.

Referensi:

  • Yahya, M. (2018). Pemindahan ibu kota negara maju dan sejahtera. Jurnal Studi Agama dan Masyarakat, 14(1), 21-30.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com