Namun sayangnya, perkembangan penerbitan Bromartani harus berakhir setelah baru berusia dua tahun, karena jumlah pembacanya kian hari kian menyusut.
Pada akhirnya, Bromartani resmi dinyatakan tutup pada 23 Desember 1956.
Baca juga: Bromartani, Surat Kabar Pertama Berbahasa Jawa
Jurnalistik mulai berkembang secara signifikan di Indonesia pada abad ke-20, setelah diterbitkannya surat kabar Medan Prijaji.
Medan Prijaji adalah surat kabar berbahasa Melayu yang terbit di Bandung, Jawa Barat, pada 1 Januari 1907.
Media yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo ini dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu.
Tujuan Tirto menerbitkan Medan Prijaji adalah untuk memperjuangkan hak-hak rakyat pribumi.
Malangnya, gagasan Tirto ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Belanda di Indonesia sehingga ia diasingkan.
Kendati demikian, semangat Tirto dalam mengembangkan jurnalistik di Indonesia telah memotivasi surat kabar lain untuk berani mengkritik pemerintah kolonial.
Sejak saat itu, surat kabar lain pun mulai bermunculan di Indonesia.
Baca juga: Sejarah Surat Kabar Indonesia dari Zaman Belanda hingga Reformasi
Pada masa Orde Lama, kebebasan jurnalistik cukup terjamin.
Namun, memasuki tahun 1950, kebebasan pers mulai dibatasi yang ditunjukkan dengan ditutupnya sejumlah surat kabar, seperti Harian Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantara.
Lalu, pada akhir tahun 1959, Presiden Soekarno mulai menerapkan demokrasi terpimpin dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan memberlakukan UU Darurat Perang yang membuat keberadaan pers semakin terhimpit.
Pada era demokrasi terpimpin, setiap perusahaan yang bergerak di bidang jurnalistik diwajibkan memiliki Surat Izin Terbit (SIT).
Setiap surat kabar, majalah, dan kantor berita yang tidak mengikuti peraturan ini akan diberi sanksi tegas.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada masa Orde Baru, dunia jurnalistik semakin terkekang.