Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah Kabupaten Trenggalek, Bermula dari Legenda Menak Sopal

Kompas.com - 31/08/2023, 14:00 WIB
Verelladevanka Adryamarthanino ,
Tri Indriawati

Tim Redaksi

Sumber Kompas.com

KOMPAS.com - Trenggalek adalah salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Timur.

Konon, nama Trenggalek berasal dari kata teranging galih yang berarti terangnya hati, diberikan oleh Ki Ageng Sinawang.

Sebutan teranging galih sendiri berasal dari legenda Mbok Randa yang memelihara gajah putih.

Hari Jadi Kabupaten Trenggalek jatuh pada tanggal 31 Agustus.

Terhitung pada hari ini, Kamis (31/8/2023), Kabupaten Trenggalek sudah berusia 829 tahun.

Baca juga: Asal-usul Nama Trenggalek

Bermula dari Legenda Menak Sopal

Dahulu, ada sepasang suami istri bernama Ki Ageng Sinawang dan Raden Ayu Saraswati yang merawat seorang bayi laki-laki bernama Menak Sopal.

Tidak seperti bayi pada umumnya, Menak Sopal terbilang cukup aneh. Sebab, setiap malam hari, ketika sedang tidur, tubuhnya akan mengeluarkan sebuah sinar terang.

Orang tua Menak Sopal kemudian mempercayai bahwa sinar itu menandakan bahwa kelak Menak Sopal akan menjadi seorang pemuda yang hebat.

Dugaan mereka pun benar. Setelah Menak Sopal beranjak dewasa, ia tumbuh menjadi pria yang sangat suka menolong dan memiliki keahlian malih rupa (berubah wujud).

Suatu hari, penduduk di sekitar tempat tinggal Menak Sopal di Padepokan Sinawang mengalami masalah kekurangan air.

Karena masalah ini, mereka sering rebutan air di tepi Sungai Bagong.

Hal ini lantas membuat Menak Sopal ingin menolong mereka.

Tanpa berpikir lama, Menak Sopal segera menyelidiki keadaan di sekitar Sungai Bagong.

Beberapa hari setelahnya, ia memutuskan untuk membendung airnya.

Tidak sendirian, Menak Sopal mengajak para pemuda di Padepokan Sinawang untuk membantunya membangun bendungan air itu.

Tidak butuh waktu lama, Menak Sopal dan para pemuda berhasil menyelesaikan pembangunan bendungan.

Namun, saat baru saja selesai, tiba-tiba bendungan itu ambrol.

Menak Sopal bersama para pemuda bergegas memperbaiki bendungan itu, tetapi kembali ambrol.

Ternyata, penyebab bendungan air itu sering ambrol adalah seekor buaya putih besar yang sering merusak bendungan dengan kibasan ekornya.

Salah satu syarat agar buaya putih berhenti merusak bendungan adalah dengan memakan seekor kepala gajah putih.

Satu-satunya orang yang memiliki gajah putih di daerah itu adalah Mbok Randa di Desa Krandon.

Menak Sopal pun segera berangkat dan menemui Mbok Randa.

Sesampainya di rumah Mbok Randa, Menak Sopal mengutarakan keinginannya untuk meminjam gajah putih miliknya selama tiga hari.

Menak Sopal juga menyatakan dengan tegas bahwa Padepokan Sinawang akan bertanggung jawab penuh atas si gajah putih milik Mbok Randa.

Pada akhirnya, Mbok Randa bersedia meminjamkan gajah putih miliknya.

Segera setelah Menak Sopal kembali ke desanya, gajah putih itu disembelih dan kepalanya dilempar ke Sungai Bagong.

Setelah itu, bendungan kembali dibagun dan dapat berdiri dengan kokoh untuk menampung air dari Sungai Bagong.

Tiga hari sudah berlalu, Mbok Randa masih menunggu Menak Sopal mengembalikan gajah putihnya.

Namun, satu bulan berlalu, si gajah putih masih belum kembali ke pemiliknya.

Mbok Randa pun marah dan segera mengumpulkan massa untuk menyerbu Padepokan Sinawang.

Di tengah perjalanan, Mbok Randa tidak sengaja bertemu dengan Menak Sopal dan langsung menanyakan keberadaan gajah putihnya.

Dengan jujur, Menak Sopal menjawab bahwa gajah putihnya sudah disembelih dan kepalanya diberikan kepada buaya putih untuk dimakan.

Sayangnya, Mbok Randa tidak mempercayai cerita itu, sehingga ia menyuruh anak buahnya mengejar Menak Sopal.

Menak Sopal pun kabur dan terjun ke dalam bendungan.

Sementara itu, Mbok Randa melanjutkan perjalanannya ke Padepokan Sinawang dan bertemu dengan Ki Ageng Sinawang.

Ki Ageng Sinawang menjelaskan hal yang serupa dengan penjelasan Menak Sopal.

Setelah mengetahui hal tersebut, Mbok Randa pun mengikhlaskan kepergian si gajah putih.

Ki Ageng Sinawang juga mengatakan jika Padepokan Sinawang sudah ramai, ia akan menamainya menjadi Teranging Galih, yang kemudian lahir sebutan Trenggalek.

Baca juga: Prasasti Kamulan, Asal-usul Hari Jadi Kabupaten Trenggalek

Masa Kerajaan Hindu-Buddha

Pada masa Kerajaan Hindu-Buddha, wilayah Trenggalek berstatus sebagai tanah perdikan sejak zaman Mpu Sindok dalam Prasasti Kampak, zaman Airlangga dalam Prasasti Baru, Srengga dalam Prasasti Kamulan, dan Wikramawardhana dalam piagam yang dipahat di Arca Dwarapala Bendungan.

Konon ceritanya, wilayah Trenggalek menjadi tanah perdikan (hak kebebasan tanah tanpa dipungut biaya pajak) karena masyarakatnya pada masa itu bersedia menyediakan penginapan dan membantu Sang Raja saat menyerang wilayah Hasin di wilayah Desa Kelutan, Trenggalek, Jawa Timur.

Baca juga: Asal-usul Nama Budi Utomo

Mengangkat bupati Trenggalek pertama

Setelah masa pemerintahan Kasunanan Mataram Islam berakhir, Pakubuwana II mengangkat KRT Sumotaruno sebagai Bupati Trenggalek pertama.

Lalu, pada 1830, wilayah Trenggalek digabungkan dengan Pacitan dan Ponorogo dengan status sebagai Manca Nagara dari wilayah Kasunanan Surakarta.

Lebih lanjut, pada 1845, Hindia Belanda menetapkan wilayah Trenggalek sebagai daerah otonom.

Kemudian, pada 1885, Surat Keputusan Gubernur Jenderal keluar yang isinya berkaitan dengan penetapan batas wilayah Trenggalek dan Tulungagung.

 

Referensi:

  • Santosa Edy. Jarot Setyono. (2005). Cerita Rakyat dari Trenggalek (Jawa Timur). Jakarta: Grasindo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com