KOMPAS.com - Preanger Stelsel dan Cultuurstelsel merupakan dua kebijakan yang pernah diterapkan oleh Belanda ketika menjajah Indonesia.
Inti dari kedua kebijakan tersebut adalah mengeksploitasi rakyat Indonesia dengan cara memberi beban tanam paksa.
Dua sistem eksploitasi tersebut juga sama-sama membuat rakyat Indonesia hidup menderita dan mendatangkan keuntungan melimpah bagi Belanda.
Lantas, apa perbedaan Preanger Stelsel dan Cultuurstelsel?
Baca juga: Preanger Stelsel, Sistem Eksploitasi Kolonial yang Bertahan Lama
Preanger Stelsel (Sistem Priangan) adalah kewajiban menanam kopi yang dibebankan kepada rakyat di Priangan.
Priangan merupakan wilayah geobudaya di Jawa Barat yang saat ini mencakup area Bandung, Subang, Garut, Purwakarta, Sumedang, Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Majalengka, Pangandaran, Cianjur, dan Sukabumi.
Preanger Stelsel dicetuskan oleh VOC dan mulai diberlakukan di Priangan sejak 1723 hingga 1912.
Tanaman wajib Preanger Stelsel adalah kopi, yang disebut sebagai barang berharga uang karena menjadi salah satu barang paling dicari masyarakat Eropa saat itu dan permintaannya di pasar dunia terus meningkat.
Baca juga: Land Rent System: Pengertian, Pencetus, dan Pelaksanaannya
Pada dasarnya, tujuan Preanger Stelsel adalah mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi VOC yang menghadapi persaingan dalam perdagangan kopi dengan para pedagang Turki.
Dalam sistem ini, rakyat Priangan diwajibkan untuk menanam kopi dan menyerahkan semua hasilnya kepada VOC.
Saat menjalankan Preanger Stelsel, VOC bekerja sama dengan para bupati, yang bertugas memobilisasi rakyat dan menjadi perantara dalam hal penyerahan tanaman kopi maupun bayaran dari VOC.
Dapat dikatakan, para bupati memiliki peran sebagai tangan kanan VOC dalam Preanger Stelsel.
Preanger Stelsel sangat menguntungkan bagi Belanda, bahkan menjadi sistem eksploitasi kolonial yang dipertahankan sejak zaman VOC hingga masa liberal di Indonesia.
Baca juga: Perbedaan Land Rent System dengan Cultuurstelsel
Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) adalah kebijakan yang mengharuskan rakyat melaksanakan proyek penanaman tanaman ekspor di bawah paksaan pemerintah Kolonial Belanda.
Sistem Tanam Paksa dicetuskan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Johannes van den Bosch pada 1829 dan berlaku dijalankan hingga 1870.
Tujuan dari Cultuurstelsel adalah untuk mengatasi kas Belanda yang kosong karena digunakan untuk membiayai perang, baik di tanah jajahan maupun di negeri induk.
Ciri pokok sistem tanam paksa terletak pada kewajiban rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk hasil tanaman yang menjadi fokus pemerintah Belanda, seperti kopi, teh, tebu, tembakau, dan nila.
Sistem tanam paksa sebetulnya merupakan gabungan dari Preanger Stelsel dan pengerahan tenaga kerja.
Kebijakan ini dicetuskan Van den Bosch atas dasar keberhasilan Preanger Stelsel di Priangan dalam menopang perekonomian pemerintah kolonial.
Baca juga: Cultuurstelsel, Sistem Tanam Paksa yang Sengsarakan Rakyat Pribumi
Cultuurstelsel dapat dikatakan sebagai Preanger Stesel yang dilaksanakan di seluruh Pulau Jawa.
Pada masa pelaksanaan Cultuurstelsel di Pulau Jawa, Preanger Stesel tetap dipertahankan Van den Bosch di Priangan.
Preanger Stelsel | Cultuurstelsel | |
Pencetus | VOC | Johannes van den Bosch |
Masa berlaku | 1723-1912 | 1830-1870 |
Wilayah penerapan | Priangan | Pulau Jawa |
Tanaman wajib | Kopi | Komoditas yang laku di pasar dunia (kopi, teh, tebu, tembakau, dan nila) |
Tujuan | Mendatangkan keuntungan sebanyak-banyaknya bagi VOC yang menghadapi persaingan dalam perdagangan kopi dengan para pedagang Turki. | Mengisi kas Belanda yang kosong karena digunakan untuk membiayai perang, baik di tanah jajahan maupun di negeri induk. |
Referensi: