Pertemuan ini menghasilkan terbentuknya Badan Musyawarah Alim Ulama yang kemudian membentuk Majelis Ulama di Jawa Barat sebagai basis DI/TII pada 12 Juli 1958.
Lembaga ini didirikan sebagai jembatan antara Islam di Jawa Barat dan alat pemerintahan guna menstabilkan hubungan Islam dan pemerintah.
Ketidakstabilan hubungan antara Islam dan pemerintah masih berlangsung tatkala Soeharto mengambil alih tongkat kekuasaan.
Soeharto yang di sekitar kekuasaannya dipenuhi oleh orang-orang militer, ternyata masih menyimpan memori traumatis kepada umat Islam.
Pertempuran-pertempuran DI/TII masih menjadi objek pertimbangan untuk membebaskan gerakan Islam dalam lembaga majelis ulama yang telah banyak terbentuk di berbagai daerah.
Soeharto juga menyadari bahwasa kelompok-kelompok Islam yang dibiarkan berkembang tanpa kontrol dari pusat dapat membahayakan rezimnya.
Baca juga: Dampak Positif Kebijakan Politik pada Masa Orde Baru
Oleh karena itu, Soeharto dalam berbagai kebijakannya banyak mengarah kepada pembatasan terhadap ruang gerak umat muslim.
Ricklefs (2005:559) menganalisis sikap Soeharto terhadap Islam sama halnya dengan sikap Snouck Hurgronje yang mengamini Islam sebagai praktik agama, tetapi menutup ruang politiknya.
Oleh sebab itu, gerakan-gerakan politik umat Islam dibatasi dalam kontrol pemerintah Orde Baru, misalnya menolak kebangkitan Masyumi dan memecah kekuatan politik NU dan Parmusi yang dilebur ke partai PPP.
Konflik antara pemerintah dan ulama memanas lagi ketika Orde Baru mengeluarkan RUU Perkawinan yang memperbolehkan pernikahan beda agama.
RUU tersebut langsung menuai kecaman hebat dan penolakan sehingga akhirnya tidak jadi disahkan menjadi undang-undang.
Lebih jauh, pemerintah Orde Baru ingin mengontrol para ulama yang berdiri di atas lembaga majelis ulama di daerah-daerah dalam kontrol lembaga keulamaan pusat, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Usulan pemerintah mendirikan lembaga tersebut oleh sebagian ulama, disadari sebagai cara pemerintah untuk mengontrol gerakan ulama.
Namun, lembaga semacam itu memang diperlukan umat Islam untuk menjembatani aspirasi antara komunitas Muslim dengan pemerintah maupun sebaliknya.
Baca juga: Pemberontakan DI/TII di Mana Saja?
Sebab, hingga 1975, Indonesia belum memiliki lembaga yang mampu menjembatani pemerintah dan umat Islam secara nasional.
Hal ini juga disampaikan oleh Mukti Ali yang kala itu menjadi menteri agama.
Kemudian, pada 7 Rajab 1395 Hijriah atau 26 Juli 1975, diadakan musyawarah ulama di Jakarta yang dihadiri oleh 26 ulama dari 26 provinsi di Indonesia, 10 ulama perwakilan ormas pusat, empat ulama dari dinas kerohanian, dan 13 cendekiawan perorangan.
Musyawarah ini menghasilkan keputusan pendirian Majelis Ulama Indonesia yang kala itu diketuai oleh Prof. Dr. Abdul Malik Karim Amrullah atau dikenal dengan Buya Hamka.
Baca juga: Sejarah Masa Orde Baru (1966-1998)
Referensi: