Tidak lama kemudian, Katimin mengetahui bahwa warga Cemandi dituntut untuk membayar pajak setelah panen.
Ketika menarik pajak, Belanda mengirim tentara Oost Indische Leger atau OIL, yang tidak jarang menyiksa penduduk.
Baca juga: Kesenian Ubrug, Teater Asal Banten
Katimin, yang mempunyai ide untuk mengusir para penarik pajak, menyuruh warga Cemandi mencari enam batang kayu nangka yang masing-masing berukuran 50 cm dan kayu randu dengan panjang satu telapak kaki orang dewasa.
Kayu nangka tersebut dibuat kendang dan kayu randu digunakan untuk membuat topeng yang menyerupai wajah buto cakil dengan dua taring.
Ketika utusan Belanda datang ke Desa Cemandi untuk menarik pajak, Katimin dan para pemuda dari Pagerwojo mementaskan kesenian barongan dan kendang.
Tentara OIL yang datang pun ikut berjoget,dan disaat itulah mereka dihajar beramai-ramai hingga tidak berdaya.
Setelah itu, mereka tidak lagi berani memungut pajak apalagi melakukan kekerasan kepada warga Desa Cemandi.
Baca juga: Nandong Smong, Kesenian Tradisional Simeulue
Versi lain menyatakan bahwa Katimin mendapat ide dari pemimpin pondok pesantren bernama Kiai Mas Albasyaiban.
Setelah kendang dan topeng selesai dibuat, Kiai ini yang mengisi topeng dengan makhluk gaib sejenis genderuwo.
Ketika para penarik pajak datang, Kiai meminta dua warga Cemandi mengenakan topeng barongan lanang dan wadon, kemudian menari diiringi kendang berkeliling desa.
Konon, tarian itu terlihat menyeramkan di mata Belanda, sehingga mereka ketakutan dan urung kembali ke Desa Cemandi.
Tarian yang diiringi kendang dan angklung ini kemudian disebut Reog Cemandi.
Jumlah pemain Reog Cemandi sekitar 13 orang, yang terdiri dari penari yang memakai topeng barongan lanang dan wadon, serta para penabuh gendang dan pemain angklung.
Sedangkan properti yang digunakan dalam kesenian Reog Cemandi antara lain, topeng barongan lanang dan wadon, keris, tali untuk ikat pinggang penari barongan lanang, golok, kalung untuk penari barongan wadon, dan selendang kuning.
Referensi: