KOMPAS.com - La Karambau atau lebih dikenal dengan gelarnya Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi adalah Sultan Buton ke-20 dan ke-23.
Ia merupakan satu-satunya Sultan Buton yang menjabat sebagai pemimpin Kesultanan Buton lebih dari satu kali.
Sebagai Sultan Buton, ia tidak mewarisi tradisi pendahulunya yang memilih bekerja sama dengan kompeni Belanda.
Menurut La Karambau, hubungan dengan Belanda yang telah dirintis oleh pendahulunya sejak 1613 dan diikat dalam surat perjanjian, secara tidak langsung merendahkan martabat dan kedaulatan Kesultanan Buton.
Pada masa kepemimpinan La Karambau, poin-poin dalam perjanjian yang telah disepakati sultan-sultan sebelumnya, diingkari sehingga memicu berubahnya hubungan Kesultanan Buton dan Belanda.
Baca juga: Kesultanan Buton: Sejarah, Sistem Pemerintahan, dan Peninggalan
Pada masa kepemimpinan Sultan Himayatuddin atau La Karambau, Kesultanan Buton mengalami beberapa perubahan sikap politis yang drastis terhadap Belanda.
Pada masa kepemimpinan sultan-sultan sebelumnya, mereka lebih berupaya untuk menjaga hubungan baik antara Kesultanan Buton dan Belanda.
Sebaliknya, Himayatuddin melakukan tindakan-tindakan yang berlawanan dengan para sultan sebelumnya sehingga berpotensi besar memicu perang.
Himayatuddin menegaskan sikapnya kepada para bangsawasan Buton, bahwa perjanjian-perjanjian yang telah disepakati sebelumnya dengan Belanda, tidak berlaku lagi.
Sultan Buton ini merasa isi dari perjanjian-perjanjian yang disepakati tersebut secara tidak langsung merendahkan martabat dan kedaulatan kesultanannya.
Kondisi ini kemudian semakin diperpanas dengan munculnya mantan pegawai kompeni, Frans Frous, yang menentang kebijakan-kebijakan kompeni karena dianggap berlebihan.
Pemikiran Franz ini tampak sejalan dengan Sultan Buton. Oleh karena itu, sultan memberikan bantuan dan dukungan terhadap aksi-aksi Frans, termasuk perampokan dan pembunuhan awak kapal dagang Rusten Werk milik Belanda di Bau-Bau.
Terjadinya perampokan di Bau-Bau ini yang didukung oleh Sultan Buton secara tidak langsung adalah deklarasi perang, sebab poin keamanan dalam perjanjian telah diingkari.
Sebelum peristiwa Bau-Bau, telah terjadi insiden perampokan kapal dagang Belanda (Poleon) oleh rakyat Buton di Wawonii pada 1626.
Insiden ini pada dasarnya telah menyisakan kekecewaan bagi Belanda meskipun Sultan Buton mengelak saat dimintai pertanggungjawaban.
Baca juga: Kisah Rakyat Sonbai NTT yang Menentang Belanda hingga 3 Keturunan