KOMPAS.com - Fenomena premanisme di Indonesia memang mulai merebak pada era Orde Baru, tepatnya tahun 1970-an.
Preman atau premanisme adalah sebutan untuk sekelompok orang yang sering melakukan aksi kekerasan terhadap orang lain.
Bahkan, diduga tidak sedikit korban harus meregang nyawa akibat tindakan menyeramkan yang dilakukan oleh para preman.
Lalu, bagaimana pemberantasan preman pada masa Orde Baru?
Baca juga: Penembakan Misterius (Petrus): Latar Belakang dan Dampaknya
Pemberantasan preman pada masa Orde Baru dilakukan dengan operasi penembakan misterius (Petrus).
Pada awal 1980-an, banyak ditemukan warga Indonesia yang tewas, bahkan jumlahnya terus meningkat.
Menanggapi kejadian ini, Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia, Jenderal Leonardus Benjamin Meordani, mulanya menyalahkan kasus ini kepada para geng atau preman.
Berawal dari sana, tanpa memberitahu kepada publik, operasi penembakan misterius (Petrus) dilakukan untuk menekan angka kriminalitas.
Operasi Petrus dilakukan pada Maret 1983, yang dikomandoi oleh Komandan Garnisun Yogyakarta, Letkol M Hasbi.
Namun, begitu berita petrus tersebar, beberapa penjahat memilih menyerahkan diri.
Ada juga preman yang kabur, sedangkan lainnya berhenti melakukan tindakan kejahatan.
Rupanya, peristiwa Petrus ini menurunkan angka kejahatan secara signifikan.
Kejahatan di Yogyakarta menurun dari 57 menjadi 20 dan di Semarang menurun dari 78 menjadi 50.
Baca juga: Kelemahan Pemerintahan Orde Baru
Karena memberi hasil yang baik, operasi Petrus terus dilanjutkan.
Garnisun kemudian membuat daftar baru dan mengeluarkan ultimatum publik kepada semua preman untuk segera menyerah tanpa harus menyebutkan nama.